Sekitar tiga puluh kilometer ke arah barat dari pusat
Jakarta, terdapatlah sebuah wilayah bernama Tangerang. Dialiri dua sungai
besar, Ci Sadane dan Ci Durian. Penamaan tempatnya sendiri adalah warisan salah eja kompeni yang
mengucapkan Tanggeran menjadi Tangerang. Orang-orang tua zaman dulu lebih
senang menyebut Tangerang dengan sebutan
Benteng, karena memang pernah berdiri perbentengan kompeni yang dibangun untuk
menghadapi Kesultanan Banten.
Tangerang terletak strategis sehingga dilewati Jalan Raya
Pos yang terkenal dengan panjang 1.000 kilometernya dari Anyer hingga
Panarukan. Jalan yang diperlebar semasa Gubernur Jenderal Herman Willem
Daendels itu melewati wilayah yang kini disebut Jayanti, Balaraja, Cikupa,
Tangerang Kota – hingga ke Kalideres.
Selain dilewati jalan yang kini menjadi
jalan nasional utama, Tangerang pun dilewati jalan bebas hambatan. Urat nadi
baru yang dibangun semasa Soeharto berkuasa. Menghubungkan Jakarta hingga ke
Merak yang tidak selalu tanpa hambatan, karena di jam-jam sibuk macet menular
di Gerbang Tol Karang Tengah.
Sementara di selatan, Tangerang dilalui jalur kereta yang
dulu menghubungkan Labuan di Pandeglang menuju Rangkasbitung hingga ke Batavia.
Tapi kini jalur kereta menuju Labuan sudah menghilang.
Aku selalu berkhayal
kalau jalur transportasi rakyat itu kembali hidup, kalau perlu sampai ke
Panimbang. Tinggal satu jalur yang tersisa dari Rangkasbitung ke utara, menuju
Serang hingga ke Merak. Sedangkan jalur dari Rangkasbitung yang melewati
Serpong menuju Tanahabang kini sedang dibuat dua jalur lengkap dengan
tiang-tiang listrik di kiri dan kanannya biar bisa dilewati kereta listrik
buatan Jepang.
Tanahnya yang datar menjadi rebutan sejak dahulu. Karena kesuburannya, sejak dulu Tangerang dikenal sebagai tanah partikelir (land). Kompeni
telah menjual tanah di Tangerang kepada sekitar 70 orang tuan tanah yang
kebanyakan tionghoa. Sejak saat itu pula terjadi perlawanan para jawara yang
muncul dari ketidakberdayaan penduduk setempat atas persengkongkolan yang dilakukan
kompeni dengan tuan tanah. Perlawanan
itu menganggu kemapanan para tuan tanah sehingga dianggap sebagai sumber
kriminalitas pada waktu itu.
Aku jadi teringat cerita ibu tentang kakeknya. Kakeknya atau
kakek buyutku bernama Semben. Tak ada catatan tahun berapa dia dilahirkan. Jika
melihat usia kakek, anak keempat dari Semben yang selalu ingat bahwa gerombolan
pasukan Belanda sering keluar masuk kampung sebelum kedatangan Jepang,
sepertinya Semben sedikit lebih tua dari Soekarno.
Diceritakan bahwa Semben
adalah seorang kuat dan pemberani. Zaman Belanda katanya tanah-tanah banyak
yang tak bertuan. Adapula yang bertuan tapi milik orang Tionghoa di kota.
Mereka orang tionghoa jarang sekali datang untuk sekedar menggarap tanah
mereka. Akhirnya timbulah semacam pengakuan sepihak penduduk atas tanah-tanah
itu untuk digarap. Siapa yang kuat dia akan punya banyak tanah. Semben adalah
salah satu yang kuat dan pemberani sehingga membuatnya memiliki tanah yang
luas.
Untungnya setelah kemerdekaan, peraturan tentang pertanahan
mengakui semua kepemilikan tanah dikembalikan kepada penduduk setempat yang
sudah menggarap berpuluh-puluh tahun. Semben pun mewarisi tanah yang luas bagi
anak cucunya. Anak cucunya banyak, tanah itu dibagi-bagi sesuai urutan lahir, jenis
kelamin, dan jumlah cucu. Anak lelaki seperti kakek mendapat bagian lebih
banyak dari kakak perempuannya yang nomor dua karena anaknya kakek banyak pula.
Cepatnya pertumbuhan, tanah-tanah itu kini telah banyak dijual dan digusur. Ada
yang menjadi kawasan industri, kontrakan-kontrakan petak dan rumah milik para
pendatang. Sebagian jadi milik Lippo
Village, kawasan hunian elite milik keluarga Mochtar Riady.
Aku sebagai generasi ketiga sepertinya memang harus lebih
mandiri. Merintis kembali kekayaan yang kelak harus diwariskan seperti Semben
dulu, meski mungkin kekayaan yang aku punya nanti hanya sebuah pendidikan dalam
bentuk ijazah bagi anak-anakku.
Generasiku tidak lagi diajarkan untuk pergi
haji atau kawin dari hasil menjual kebun, karena memang kebun atau sawah yang
luas sudah habis. Tinggal tersisa sebidang tanah berisi rumah yang mungkin
kalau kelak aku tak punya malu akan aku rebut juga. Generasiku bukan lagi
generasi petani seperti semben dan anaknya dulu.
Generasiku generasi buruh di
pabrik-pabrik. Kalau mau hidup lebih enak lagi ya sekolah tinggi-tinggi, biarpun
mahal, biarpun kau tak mengerti mata kuliahnya, kelak kau akan bekerja di
kantoran. Tapi kalau kau punya nyali tambahan, bergaul dengan dengan bangsawan
lokal, bermain politik, maka kau akan dapat banyak paket-paket lelang yang
didanai dari APBD, atau minimal jadi PNS. Begitulah seterusnya.
Sawah-sawah dan Topi Bambu
Di Tangerang padi tumbuh subur di sawah-sawahnya, dengan dua
sungai besar Ci Sadane di timur dan Ci Durian di barat sebagai sumber utama
irigasi yang dialirkan melalui anak-anak sungai dan saluran irigasi yang juga
mulai dibangun semasa kolonial.
Data BPS pada 2013 menunjukan bahwa masih ada
sekitar 70 ribu hektar sawah khususnya di Kabupaten Tangerang yang kini hasilnya
tak lagi dipandang menjanjikan. Sawah-sawah itu setiap tahunnya selalu menyusut,
dikabarkan sampai 500 hektar setiap tahunnya beralih fungsi.
Selain padi,
Tangerang dulu adalah penghasil kedelai, hingga lahirlah sebuah industri kecap
yang terkenal bernama Kecap Benteng. Kecap Benteng ini mendapat label kecap
kelas atas di zamannya, sampai-sampai Bung Karno membuat ungkapan “ngecap” yang
berarti bermakna nomor satu.
Pada sekitar abad 19 hingga awal abad 20 Tangerang sempat pula
menjadi sentra industri topi anyaman bambu yang dipakai oleh pekerja pelabuhan
di Eropa maupun Amerika. Beberapa jenis
model topi bahkan menjadi mode di Eropa yang dipakai kalangan bangsawan putri.
Pada
1887 saja, topi anyaman bambu dari Tangerang di ekspor hingga 145 juta buah ke
Perancis. Tapi setelah kemerdekaan, industri topi anyaman bambu Tangerang
perlahan meredup. Topi anyaman bambu yang juga menjadi logo karya Kabupaten
Tangerang itu baru berjaya kembali di era Presiden Soeharto. Saat itu gerakan
kepanduan Pramuka menggunakan topi anyaman bambu sebagai atribut resmi untuk
Pramuka putri.
Dari Sabang sampai Merauke, melalui pasar Tanahabang sebagai
sentra grosirnya, topi anyaman bambu buatan Tangerang menutupi kepala Pramuka
putri selama berpuluh-puluh tahun. Menjadi darah hidup ribuan penganyam di
kampung-kampung dan bengkel-bengkel finishing
topi yang bekerja sebagai ahli sekaligus buruh bagi para pengepul.
Tapi apa daya, terbit SK Kwarnas No. 174 Tahun 2012 yang
mengatur atribut penutup kepala Pramuka putri tak lagi dari bahan anyaman bambu
melainkan dari bahan kain berwarna coklat. SK itu seperti menjadi cambuk keras
yang menyadarkan para penganyam bahwa zaman memang sudah lain.
Aku sendiri
sampai saat ini masih tergerak mengikuti beberapa kegiatan teman-teman di
Komunitas Topi Bambu yang fokus untuk menghidupkan kembali topi anyaman bambu.
Memang apa yang kami lakukan belumlah membuahkan hasil memuaskan. Seperti
bermimpi di siang bolong, memikirkan kembali bagaimana caranya topi anyaman
bambu bisa kembali diproduksi dan diminati, lalu menjadi kerajinan ekslusif
yang bisa menembus ekspor dengan harga yang manusiawi.
Sepertinya apa yang dibilang Pram dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels-nya yang
mengatakan bahwa industri topi anyaman bambu Tangerang gulung tikar, dan
nampaknya tak akan bangkit lagi mungkin ada benarnya. Generasi penganyam topi
sudah tak mau lagi menganyam. Mereka memilih pindah ke pabrik-pabrik modern
karena topi anyaman bambu sudah tak bisa memberi banyak harapan. Tak lagi
menjadi semangat yang menetes di tiap-tiap keringat hingga topi anyaman bambu mengilhami
logo karya Kabupaten Tangerang.
Terkenal sejak dulu menjadi sentra industri menjadikan
Tangerang banyak didatangi pendatang dari bermacam-macam suku dan bangsa.
Beberapa cerita sejarah mengatakan bahwa penduduk asli Tangerang adalah orang Sunda
yang masih sangat sedikit jumlahnya dan mengabdi kepada Prabu di Pakuan
Pajajaran.
Tangerang di zaman Pajajaran bukan sebuah wilayah penting seperti
Kalapa, Banten Girang, atau Priangan. Barulah pada sekitar Abad ke-17,
Kesultanan Banten memindahkan sekira lima ribu penduduk ke sebelah barat sungai
Ci Sadane untuk mengimbangi dominasi VOC yang kala itu sudah menguasai Sunda
Kalapa. Dan menempatkan tiga orang maulananya di sana.
Cerita sejarah lain mengatakan pada sekitar abad ke-17 pula,
ketika Priangan ditaklukan Sultan Agung dari Mataram, Tangerang pun kedatangan
pasukan Sunda dari Priangan yang bergabung dengan pasukan Jawa dari Mataram
untuk menyerang VOC di Sunda Kalapa. Dalam cerita, sebagian dari pasukan enggan
kembali ke kampung halaman. Mereka lebih memilih menikahi gadis setempat, mencetak sawah-sawah baru, beranak-pinak hingga
sekarang.
Pasukan dari Priangan yang berdialek Sunda memilih daerah Tengah
hingga ke selatan seperti Balaraja, Cisoka, Pasar Kemis, Cikupa, Curug, hingga
Serpong. Sementara pasukan dari Mataram yang berdialek Jawa memilih mendiami
daerah utara sekitar pesisir seperti Kronjo, Kresek, dan Mauk. Barulah kemudian
menyusul kedatangan suku-suku lain dari Minang, Melayu, Makassar, Madura, dan
juga eksodus orang Tionghoa dari daratan Tiongkok semenjak era Hindia Belanda.
Magnet Bernama Industri
Setelah kemerdekaan, Tangerang tumbuh dengan cepat menjadi
pusat industri. Menjadi wilayah yang modern dan tentu saja kumuh. Awalnya
banyak berdiri industri padat karya seperti makanan, tekstil, dan garmen. Seiring
dengan perbaikan ekonomi, industri lain yang lebih padat modal menyusul seperti
industri elektronika dan sparepart kendaraan bermotor.
Industri-industri itu tentu
menyedot banyak tenaga kerja, bukan hanya bagi angkatan kerja lokal, juga bagi
angkatan kerja dari berbagai daerah. Data BPS pada 2013 menunjukan bahwa di
Kabupaten Tangerang saja tercatat ada sekitar 695 industri yang masuk dalam
kategori sedang dan besar.
Industri itu dengan cepat menjadi magnet karena membutuhkan
tenaga kerja produktif yang banyak. Menarik banyak pendatang dari penjuru
negri, karena di desa tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dengan datang ke
pusat-pusat industri, ada banyak cita-cita demi kehidupan sejahtera ditawarkan.
Mulai menjadi buruh yang dibayar dengan standar upah yang lebih tinggi, atau
menjadi penjual barang dan jasa yang bisa dengan mudah laris manis. Pun kalau
harus menjadi buruh kasar di sektor informal, setidaknya hidup di Tangerang
lebih menyenangkan ketimbang mengurusi sawah atau ladang yang sudah sejak lama
terpinggirkan.
Harus diakui, semenjak revolusi industri di Inggris,
pusat-pusat industri telah membangun struktur masyarakat menjadi lebih rumit. Hal
itu tidak terkecuali di tangerang. Contoh pabrik-pabrik sepatu, yang membuat
sepatu untuk dikirim ke negara maju. Dalam satu pabriknya bisa membutuhkan hingga
tiga ribu buruh. Setiap bel pabrik berbunyi, akan ada banyak semangat dan
harapan baru dari para pedagang yang menjajakan dagangannya di pinggir trotoar
dekat gerbang pabrik. Industri telah membuat para buruh haus akan banyak kebutuhan
baik yang dasar hingga yang tidak diperlukan. Menciptakan kelas-kelas baru dalam
berbagai bidang, yang dibedakan lagi atas jumlah harta, jabatan, dan profesi.
Sayangnya
di Tangerang, tumbuhnya kebutuhan itu tidak dibarengi dengan tumbuhnya peradaban
yang lebih maju. Di Tangerang aku merasakan bahwa orang-orang begitu semangat
mencari kehidupan layak tapi mereka lupa membangun struktur masyarakat yang
layak, yang manusiawi, yang maju.
Lihat wilayah bernama Pasar Kemis. Sebuah Kecamatan dengan
penduduk terbanyak dan terpadat di Kabupaten Tangerang. Wilayah itu tumbuh dari
pabrik-pabrik yang kebanyakan industri padat karya. Setiap jam keluar tiba apa
yang aku dapat jika lewat sana? Kesemrawutan. Kemacetan. Apalagi setelah hujan
turun, saluran got nya tidak berfungsi. Terjadi genangan di sana-sini.
Lalu
para pengguna jalannya, yang termasuk aku di dalamnya, menjadi pasrah. Seperti
tidak peduli atas semua kebodohan ini. Kami hanya bisa membunyikan klakson
sekerasnya di motor-motor kami yang bagus dan mahal-mahal. Di mobil kami yang
licin-licin dan mahal-mahal. Kami berlomba-lomba mendapat kemewahan, tapi kami
mengeluh menjalaninya. Dalam hal ini sepertinya kami memang harus banyak-banyak
menghina pemerintah setempat yang dibekingi para jawara. Juga pemerintah pusat,
meskipun bosan.
Lalu bagaimana tentang cerita-cerita orang bawah. Para
pengemis, tukang parkir, pengangguran putus sekolah, tukang ojek yang rebutan
tiap aku turun dari angkot yang suka berhenti seenak jidat? Aku mulai bosan
menceritakannya.
Sebagai orang tak berdaya aku hanya bisa berdoa. Bahkan
terkadang menjadi sedikit gila, berharap Tuhan menurunkan malaikatnya dan bim
salabim, atas kekuasaan-Nya kesejahteraan sejati tercipta. Tapi ternyata hidup
tak seperti itu. Tuhan ternyata telah menyerahkan semuanya kepada kami sebagai
makhluk yang berakal budi. Segala hal yang ada di kolong langit, memang sudah
semestinya menjadi urusan kami. Para manusia yang juga dipenuhi nafsu dan
keinginan-keinginan.
Kembali ke ceritaku, selain industri-industri yang dibangun
baik oleh pemodal lokal maupun asing, banyak pula hidup kawasan-kawasan hunian.
Kawasan hunian yang dibangun pengembang besar bisa membangun struktur kota
mandiri tersendiri dengan jalan yang lebar-lebar, pusat keuangan yang megah, taman
yang hijau, pusat perbelanjaan modern, dan hamparan perumahan mewah yang
terkavling-kavling.
Dijual dengan harga selangit dengan target pasar kalangan
menengah atas yang menghabiskan jam kerjanya di ibukota Jakarta. Orang miskin
tentu hanya akan menganga sambil bermimpi saat melihat tingginya pagar rumah
mereka yang dihias sebegitu mewah.
Sedang pengembang yang modalnya kecil, palingan hanya mampu
membeli beberapa hektar sawah saja. Terkadang di dalam pelosok kampung yang jalannya
sempit. Mereka gusur dan ratakan, lalu dibangunlah rumah murah sederhana dengan
luas tanah yang menurutku cukup sempit dan spesifikasi bangunan pas-pasan.
Biar
begitu rumah-rumah itu selalu laris di pasaran meski dijual dengan harga yang
mahal untuk ukuran buruh. Untungnya bisa dicicil sampai 15 tahun. Lakunya
tempat hunian untuk semua kalangan sepertinya masih akan terus berlanjut selama
cerobong-cerobong asap dan hilir mudik truk kontainer dan ekspedisi di
Tangerang tak berhenti.
Tangerang Raya Bukan Banten
Kini Tangerang terbagi menjadi tiga daerah tingkat dua,
yaitu Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Kota
Tangerang dan Kota Tangerang Selatan yang luasnya lebih kecil tapi berpenduduk
padat memiliki bentuk pemerintahan yang dipimpin seorang Walikota. Sedang
Kabupaten Tangerang yang luasnya lebih besar dengan desa-desa yang masih banyak
memiliki sawah-sawah yang subur dipimpin oleh seorang Bupati.
Meski begitu tidak
ada perbedaan yang mencolok antara Kabupaten dengan Kota. Sama saja, macet
telah menular hingga ke kampung-kampung. Kekumuhan mengancam desa-desa. Pembangunan
tumpang tindih. Orang-orang seperti membangun seenak jidat. Ini tentu berbahaya
jika para pemilik kuasa atas peraturan-peraturan tidak mau bersungguh-sungguh
mengaturnya.
Sebagian orang yang punya kepentingan politik dan
mencitrakan dirinya sebagai putra daerah menyebut gabungan tiga wilayah tadi
dengan sebutan Tangerang Raya. Bukan tanpa sebab, mereka punya cita-cita untuk
melepas diri dari Banten. Membangun Provinsi tersendiri dengan cita-cita
menyaingi kedigdayaan DKI Jakarta. Selain tentu secara sejarah, Tangerang itu bukan bagian dari Karesidenan Banten. Cuma wilayah partikelir, sebuah Afdeeling yang masuk ke Karesidenan Batavia.
Alasan mereka ingin menciptakan Provinsi
baru karena merasa dianaktirikan dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Provinsi. Entahlah, aku awam soal politik. Setahuku sudah sejak lama memang Provinsi
Banten dikuasai trah jawara dari Ciomas. Mungkin karena itulah terbentuk
buih-buih dendam keserakahan kekuasaan.
Memang sudah bukan barang aneh di negri
ini, kekuasaan yang mirip raja-raja kecil yang banyak disebut di obrolan warung
kopi telah bermunculan. Kekuasaan itu hanya beradaptasi dalam bentuk demokrasi
republik. Mereka saling sikut demi lezatnya kue bernama APBD.
Demikianlah ceritaku tentang sebuah tempat yang terletak di antara
Ci Sadane hingga Ci Durian. Tanah kelahiran nenek moyang dengan sejuta rahasia
sejarahnya. Tanah yang subur yang telah menopang Jakarta sejak berabad-abad
lamanya.
Tanah tempat sejuta buruh yang tiap May Day mengirim utusan untuk
melakukan aksi menuntut hak-haknya. Tanah tempat para pemilik modal meningkatkan
pundi-pundi kekayaan. Dan mungkin akan menjadi tempat di mana aku mati dan di
kubur bersama mimpi-mimpi.
------
Tangerang, 1 Mei 2016
buset bro, sejarah ini sejarah haha
BalasHapusmabok bacanya
Ini esai namanya jay... Esai-esaian.... :D
Hapus