"Kita sudah cukup begini, kita hanya punya nama baik, itu saja yang harus kita jaga terus." (Muhammad Hatta)

Dari Ci Sadane Hingga Ci Durian, Cerita Dari Tanah Sejuta Buruh

Minggu, 01 Mei 2016


Sekitar tiga puluh kilometer ke arah barat dari pusat Jakarta, terdapatlah sebuah wilayah bernama Tangerang. Dialiri dua sungai besar, Ci Sadane dan Ci Durian. Penamaan tempatnya sendiri  adalah warisan salah eja kompeni yang mengucapkan Tanggeran menjadi Tangerang. Orang-orang tua zaman dulu lebih senang  menyebut Tangerang dengan sebutan Benteng, karena memang pernah berdiri perbentengan kompeni yang dibangun untuk menghadapi Kesultanan Banten.

Tangerang terletak strategis sehingga dilewati Jalan Raya Pos yang terkenal dengan panjang 1.000 kilometernya dari Anyer hingga Panarukan. Jalan yang diperlebar semasa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels itu melewati wilayah yang kini disebut Jayanti, Balaraja, Cikupa, Tangerang Kota – hingga ke Kalideres. 

Selain dilewati jalan yang kini menjadi jalan nasional utama, Tangerang pun dilewati jalan bebas hambatan. Urat nadi baru yang dibangun semasa Soeharto berkuasa. Menghubungkan Jakarta hingga ke Merak yang tidak selalu tanpa hambatan, karena di jam-jam sibuk macet menular di Gerbang Tol Karang Tengah.

Sementara di selatan, Tangerang dilalui jalur kereta yang dulu menghubungkan Labuan di Pandeglang menuju Rangkasbitung hingga ke Batavia. Tapi kini jalur kereta menuju Labuan sudah menghilang. 

Aku selalu berkhayal kalau jalur transportasi rakyat itu kembali hidup, kalau perlu sampai ke Panimbang. Tinggal satu jalur yang tersisa dari Rangkasbitung ke utara, menuju Serang hingga ke Merak. Sedangkan jalur dari Rangkasbitung yang melewati Serpong menuju Tanahabang kini sedang dibuat dua jalur lengkap dengan tiang-tiang listrik di kiri dan kanannya biar bisa dilewati kereta listrik buatan Jepang.

Tanahnya yang datar menjadi rebutan sejak dahulu. Karena kesuburannya, sejak dulu Tangerang dikenal sebagai tanah partikelir (land). Kompeni telah menjual tanah di Tangerang kepada sekitar 70 orang tuan tanah yang kebanyakan tionghoa. Sejak saat itu pula terjadi perlawanan para jawara yang muncul dari ketidakberdayaan penduduk setempat atas persengkongkolan yang dilakukan kompeni dengan tuan tanah.  Perlawanan itu menganggu kemapanan para tuan tanah sehingga dianggap sebagai sumber kriminalitas pada waktu itu.

Aku jadi teringat cerita ibu tentang kakeknya. Kakeknya atau kakek buyutku bernama Semben. Tak ada catatan tahun berapa dia dilahirkan. Jika melihat usia kakek, anak keempat dari Semben yang selalu ingat bahwa gerombolan pasukan Belanda sering keluar masuk kampung sebelum kedatangan Jepang, sepertinya Semben sedikit lebih tua dari Soekarno. 

Diceritakan bahwa Semben adalah seorang kuat dan pemberani. Zaman Belanda katanya tanah-tanah banyak yang tak bertuan. Adapula yang bertuan tapi milik orang Tionghoa di kota. Mereka orang tionghoa jarang sekali datang untuk sekedar menggarap tanah mereka. Akhirnya timbulah semacam pengakuan sepihak penduduk atas tanah-tanah itu untuk digarap. Siapa yang kuat dia akan punya banyak tanah. Semben adalah salah satu yang kuat dan pemberani sehingga membuatnya memiliki tanah yang luas.

Untungnya setelah kemerdekaan, peraturan tentang pertanahan mengakui semua kepemilikan tanah dikembalikan kepada penduduk setempat yang sudah menggarap berpuluh-puluh tahun. Semben pun mewarisi tanah yang luas bagi anak cucunya. Anak cucunya banyak, tanah itu dibagi-bagi sesuai urutan lahir, jenis kelamin, dan jumlah cucu. Anak lelaki seperti kakek mendapat bagian lebih banyak dari kakak perempuannya yang nomor dua karena anaknya kakek banyak pula. Cepatnya pertumbuhan, tanah-tanah itu kini telah banyak dijual dan digusur. Ada yang menjadi kawasan industri, kontrakan-kontrakan petak dan rumah milik para pendatang. Sebagian jadi milik Lippo Village, kawasan hunian elite milik keluarga Mochtar Riady.

Aku sebagai generasi ketiga sepertinya memang harus lebih mandiri. Merintis kembali kekayaan yang kelak harus diwariskan seperti Semben dulu, meski mungkin kekayaan yang aku punya nanti hanya sebuah pendidikan dalam bentuk ijazah bagi anak-anakku. 

Generasiku tidak lagi diajarkan untuk pergi haji atau kawin dari hasil menjual kebun, karena memang kebun atau sawah yang luas sudah habis. Tinggal tersisa sebidang tanah berisi rumah yang mungkin kalau kelak aku tak punya malu akan aku rebut juga. Generasiku bukan lagi generasi petani seperti semben dan anaknya dulu. 

Generasiku generasi buruh di pabrik-pabrik. Kalau mau hidup lebih enak lagi ya sekolah tinggi-tinggi, biarpun mahal, biarpun kau tak mengerti mata kuliahnya, kelak kau akan bekerja di kantoran. Tapi kalau kau punya nyali tambahan, bergaul dengan dengan bangsawan lokal, bermain politik, maka kau akan dapat banyak paket-paket lelang yang didanai dari APBD, atau minimal jadi PNS. Begitulah seterusnya.

Sawah-sawah dan Topi Bambu

Di Tangerang padi tumbuh subur di sawah-sawahnya, dengan dua sungai besar Ci Sadane di timur dan Ci Durian di barat sebagai sumber utama irigasi yang dialirkan melalui anak-anak sungai dan saluran irigasi yang juga mulai dibangun semasa kolonial. 

Data BPS pada 2013 menunjukan bahwa masih ada sekitar 70 ribu hektar sawah khususnya di Kabupaten Tangerang yang kini hasilnya tak lagi dipandang menjanjikan. Sawah-sawah itu setiap tahunnya selalu menyusut, dikabarkan sampai 500 hektar setiap tahunnya beralih fungsi. 

Selain padi, Tangerang dulu adalah penghasil kedelai, hingga lahirlah sebuah industri kecap yang terkenal bernama Kecap Benteng. Kecap Benteng ini mendapat label kecap kelas atas di zamannya, sampai-sampai  Bung Karno membuat ungkapan “ngecap” yang berarti bermakna nomor satu.

Pada sekitar abad 19 hingga awal abad 20 Tangerang sempat pula menjadi sentra industri topi anyaman bambu yang dipakai oleh pekerja pelabuhan di Eropa maupun Amerika. Beberapa  jenis model topi bahkan menjadi mode di Eropa yang dipakai kalangan bangsawan putri. 

Pada 1887 saja, topi anyaman bambu dari Tangerang di ekspor hingga 145 juta buah ke Perancis. Tapi setelah kemerdekaan, industri topi anyaman bambu Tangerang perlahan meredup. Topi anyaman bambu yang juga menjadi logo karya Kabupaten Tangerang itu baru berjaya kembali di era Presiden Soeharto. Saat itu gerakan kepanduan Pramuka menggunakan topi anyaman bambu sebagai atribut resmi untuk Pramuka putri. 

Dari Sabang sampai Merauke, melalui pasar Tanahabang sebagai sentra grosirnya, topi anyaman bambu buatan Tangerang menutupi kepala Pramuka putri selama berpuluh-puluh tahun. Menjadi darah hidup ribuan penganyam di kampung-kampung dan bengkel-bengkel finishing topi yang bekerja sebagai ahli sekaligus buruh bagi para pengepul.

Tapi apa daya, terbit SK Kwarnas No. 174 Tahun 2012 yang mengatur atribut penutup kepala Pramuka putri tak lagi dari bahan anyaman bambu melainkan dari bahan kain berwarna coklat. SK itu seperti menjadi cambuk keras yang menyadarkan para penganyam bahwa zaman memang sudah lain. 

Aku sendiri sampai saat ini masih tergerak mengikuti beberapa kegiatan teman-teman di Komunitas Topi Bambu yang fokus untuk menghidupkan kembali topi anyaman bambu. Memang apa yang kami lakukan belumlah membuahkan hasil memuaskan. Seperti bermimpi di siang bolong, memikirkan kembali bagaimana caranya topi anyaman bambu bisa kembali diproduksi dan diminati, lalu menjadi kerajinan ekslusif yang bisa menembus ekspor dengan harga yang manusiawi.

Sepertinya apa yang dibilang Pram dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels-nya yang mengatakan bahwa industri topi anyaman bambu Tangerang gulung tikar, dan nampaknya tak akan bangkit lagi mungkin ada benarnya. Generasi penganyam topi sudah tak mau lagi menganyam. Mereka memilih pindah ke pabrik-pabrik modern karena topi anyaman bambu sudah tak bisa memberi banyak harapan. Tak lagi menjadi semangat yang menetes di tiap-tiap keringat hingga topi anyaman bambu mengilhami logo karya Kabupaten Tangerang.

Terkenal sejak dulu menjadi sentra industri menjadikan Tangerang banyak didatangi pendatang dari bermacam-macam suku dan bangsa. Beberapa cerita sejarah mengatakan bahwa penduduk asli Tangerang adalah orang Sunda yang masih sangat sedikit jumlahnya dan mengabdi kepada Prabu di Pakuan Pajajaran. 

Tangerang di zaman Pajajaran bukan sebuah wilayah penting seperti Kalapa, Banten Girang, atau Priangan. Barulah pada sekitar Abad ke-17, Kesultanan Banten memindahkan sekira lima ribu penduduk ke sebelah barat sungai Ci Sadane untuk mengimbangi dominasi VOC yang kala itu sudah menguasai Sunda Kalapa. Dan menempatkan tiga orang maulananya di sana.

Cerita sejarah lain mengatakan pada sekitar abad ke-17 pula, ketika Priangan ditaklukan Sultan Agung dari Mataram, Tangerang pun kedatangan pasukan Sunda dari Priangan yang bergabung dengan pasukan Jawa dari Mataram untuk menyerang VOC di Sunda Kalapa. Dalam cerita, sebagian dari pasukan enggan kembali ke kampung halaman. Mereka lebih memilih menikahi gadis setempat,  mencetak sawah-sawah baru, beranak-pinak hingga sekarang. 

Pasukan dari Priangan yang berdialek Sunda memilih daerah Tengah hingga ke selatan seperti Balaraja, Cisoka, Pasar Kemis, Cikupa, Curug, hingga Serpong. Sementara pasukan dari Mataram yang berdialek Jawa memilih mendiami daerah utara sekitar pesisir seperti Kronjo, Kresek, dan Mauk. Barulah kemudian menyusul kedatangan suku-suku lain dari Minang, Melayu, Makassar, Madura, dan juga eksodus orang Tionghoa dari daratan Tiongkok semenjak era Hindia Belanda.

Magnet Bernama Industri

Setelah kemerdekaan, Tangerang tumbuh dengan cepat menjadi pusat industri. Menjadi wilayah yang modern dan tentu saja kumuh. Awalnya banyak berdiri industri padat karya seperti makanan, tekstil, dan garmen. Seiring dengan perbaikan ekonomi, industri lain yang lebih padat modal menyusul seperti industri elektronika dan sparepart kendaraan bermotor. 

Industri-industri itu tentu menyedot banyak tenaga kerja, bukan hanya bagi angkatan kerja lokal, juga bagi angkatan kerja dari berbagai daerah. Data BPS pada 2013 menunjukan bahwa di Kabupaten Tangerang saja tercatat ada sekitar 695 industri yang masuk dalam kategori sedang dan besar.

Industri itu dengan cepat menjadi magnet karena membutuhkan tenaga kerja produktif yang banyak. Menarik banyak pendatang dari penjuru negri, karena di desa tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dengan datang ke pusat-pusat industri, ada banyak cita-cita demi kehidupan sejahtera ditawarkan. Mulai menjadi buruh yang dibayar dengan standar upah yang lebih tinggi, atau menjadi penjual barang dan jasa yang bisa dengan mudah laris manis. Pun kalau harus menjadi buruh kasar di sektor informal, setidaknya hidup di Tangerang lebih menyenangkan ketimbang mengurusi sawah atau ladang yang sudah sejak lama terpinggirkan.

Harus diakui, semenjak revolusi industri di Inggris, pusat-pusat industri telah membangun struktur masyarakat menjadi lebih rumit. Hal itu tidak terkecuali di tangerang. Contoh pabrik-pabrik sepatu, yang membuat sepatu untuk dikirim ke negara maju. Dalam satu pabriknya bisa membutuhkan hingga tiga ribu buruh. Setiap bel pabrik berbunyi, akan ada banyak semangat dan harapan baru dari para pedagang yang menjajakan dagangannya di pinggir trotoar dekat gerbang pabrik. Industri telah membuat para buruh haus akan banyak kebutuhan baik yang dasar hingga yang tidak diperlukan. Menciptakan kelas-kelas baru dalam berbagai bidang, yang dibedakan lagi atas jumlah harta, jabatan, dan profesi. 

Sayangnya di Tangerang, tumbuhnya kebutuhan itu tidak dibarengi dengan tumbuhnya peradaban yang lebih maju. Di Tangerang aku merasakan bahwa orang-orang begitu semangat mencari kehidupan layak tapi mereka lupa membangun struktur masyarakat yang layak, yang manusiawi, yang maju.

Lihat wilayah bernama Pasar Kemis. Sebuah Kecamatan dengan penduduk terbanyak dan terpadat di Kabupaten Tangerang. Wilayah itu tumbuh dari pabrik-pabrik yang kebanyakan industri padat karya. Setiap jam keluar tiba apa yang aku dapat jika lewat sana? Kesemrawutan. Kemacetan. Apalagi setelah hujan turun, saluran got nya tidak berfungsi. Terjadi genangan di sana-sini. 

Lalu para pengguna jalannya, yang termasuk aku di dalamnya, menjadi pasrah. Seperti tidak peduli atas semua kebodohan ini. Kami hanya bisa membunyikan klakson sekerasnya di motor-motor kami yang bagus dan mahal-mahal. Di mobil kami yang licin-licin dan mahal-mahal. Kami berlomba-lomba mendapat kemewahan, tapi kami mengeluh menjalaninya. Dalam hal ini sepertinya kami memang harus banyak-banyak menghina pemerintah setempat yang dibekingi para jawara. Juga pemerintah pusat, meskipun bosan.

Lalu bagaimana tentang cerita-cerita orang bawah. Para pengemis, tukang parkir, pengangguran putus sekolah, tukang ojek yang rebutan tiap aku turun dari angkot yang suka berhenti seenak jidat? Aku mulai bosan menceritakannya. 

Sebagai orang tak berdaya aku hanya bisa berdoa. Bahkan terkadang menjadi sedikit gila, berharap Tuhan menurunkan malaikatnya dan bim salabim, atas kekuasaan-Nya kesejahteraan sejati tercipta. Tapi ternyata hidup tak seperti itu. Tuhan ternyata telah menyerahkan semuanya kepada kami sebagai makhluk yang berakal budi. Segala hal yang ada di kolong langit, memang sudah semestinya menjadi urusan kami. Para manusia yang juga dipenuhi nafsu dan keinginan-keinginan.

Kembali ke ceritaku, selain industri-industri yang dibangun baik oleh pemodal lokal maupun asing, banyak pula hidup kawasan-kawasan hunian. Kawasan hunian yang dibangun pengembang besar bisa membangun struktur kota mandiri tersendiri dengan jalan yang lebar-lebar, pusat keuangan yang megah, taman yang hijau, pusat perbelanjaan modern, dan hamparan perumahan mewah yang terkavling-kavling. 

Dijual dengan harga selangit dengan target pasar kalangan menengah atas yang menghabiskan jam kerjanya di ibukota Jakarta. Orang miskin tentu hanya akan menganga sambil bermimpi saat melihat tingginya pagar rumah mereka yang dihias sebegitu mewah.

Sedang pengembang yang modalnya kecil, palingan hanya mampu membeli beberapa hektar sawah saja. Terkadang di dalam pelosok kampung yang jalannya sempit. Mereka gusur dan ratakan, lalu dibangunlah rumah murah sederhana dengan luas tanah yang menurutku cukup sempit dan spesifikasi bangunan pas-pasan. 

Biar begitu rumah-rumah itu selalu laris di pasaran meski dijual dengan harga yang mahal untuk ukuran buruh. Untungnya bisa dicicil sampai 15 tahun. Lakunya tempat hunian untuk semua kalangan sepertinya masih akan terus berlanjut selama cerobong-cerobong asap dan hilir mudik truk kontainer dan ekspedisi di Tangerang tak berhenti.

Tangerang Raya Bukan Banten

Kini Tangerang terbagi menjadi tiga daerah tingkat dua, yaitu Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan yang luasnya lebih kecil tapi berpenduduk padat memiliki bentuk pemerintahan yang dipimpin seorang Walikota. Sedang Kabupaten Tangerang yang luasnya lebih besar dengan desa-desa yang masih banyak memiliki sawah-sawah yang subur dipimpin oleh seorang Bupati. 

Meski begitu tidak ada perbedaan yang mencolok antara Kabupaten dengan Kota. Sama saja, macet telah menular hingga ke kampung-kampung. Kekumuhan mengancam desa-desa. Pembangunan tumpang tindih. Orang-orang seperti membangun seenak jidat. Ini tentu berbahaya jika para pemilik kuasa atas peraturan-peraturan tidak mau bersungguh-sungguh mengaturnya.

Sebagian orang yang punya kepentingan politik dan mencitrakan dirinya sebagai putra daerah menyebut gabungan tiga wilayah tadi dengan sebutan Tangerang Raya. Bukan tanpa sebab, mereka punya cita-cita untuk melepas diri dari Banten. Membangun Provinsi tersendiri dengan cita-cita menyaingi kedigdayaan DKI Jakarta. Selain tentu secara sejarah, Tangerang itu bukan bagian dari Karesidenan Banten. Cuma wilayah partikelir, sebuah Afdeeling yang masuk ke Karesidenan Batavia. 

Alasan mereka ingin menciptakan Provinsi baru karena merasa dianaktirikan dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi. Entahlah, aku awam soal politik. Setahuku sudah sejak lama memang Provinsi Banten dikuasai trah jawara dari Ciomas. Mungkin karena itulah terbentuk buih-buih dendam keserakahan kekuasaan. 

Memang sudah bukan barang aneh di negri ini, kekuasaan yang mirip raja-raja kecil yang banyak disebut di obrolan warung kopi telah bermunculan. Kekuasaan itu hanya beradaptasi dalam bentuk demokrasi republik. Mereka saling sikut demi lezatnya kue bernama APBD.  

Demikianlah ceritaku tentang sebuah tempat yang terletak di antara Ci Sadane hingga Ci Durian. Tanah kelahiran nenek moyang dengan sejuta rahasia sejarahnya. Tanah yang subur yang telah menopang Jakarta sejak berabad-abad lamanya. 

Tanah tempat sejuta buruh yang tiap May Day mengirim utusan untuk melakukan aksi menuntut hak-haknya. Tanah tempat para pemilik modal meningkatkan pundi-pundi kekayaan. Dan mungkin akan menjadi tempat di mana aku mati dan di kubur bersama mimpi-mimpi.


------
Tangerang, 1 Mei 2016

2 komentar:

Kalau mau komen silahkan komen. Siapa aja boleh komen, apa aja asal tidak menghina SARA. Woles men...