"Kita sudah cukup begini, kita hanya punya nama baik, itu saja yang harus kita jaga terus." (Muhammad Hatta)

Kapitalisme Agama di Indonesia Menurut Profesor Agung Tampan

Jumat, 15 April 2016

Dalam kapitalisme ada yang disebut ‘komoditi’, sesuatu yang memiliki nilai guna dan nilai tukar. Karl Marx berkata bahwa “Untuk menjadi sebuah komoditi, sebuah produk harus bisa ditransfer kepada yang lain, di mana produk tersebut tetap memiliki nilai guna melalui alat pertukaran.” 

Lalu bagaimana jika kapitalisme telah menjadikan agama sebagai komoditas? Mungkinkah kapitalisme agama terjadi di Indonesia?

Menurut seorang filsuf kuno nan katro bernama Profesor Agung Tampan dalam bukunya yang berjudul ‘The Theory of Ngeblang and Thinking Revolutionair Like Mario Teguh Golden Ways’ yang tidak pernah diterbitkan mengatakan bahwa “Hal itu seharusnya tidak bisa terjadi, karena agama sejatinya hanya boleh memiliki nilai guna. Nilai guna bagi hambanya terhadap Tuhannya. Nilai guna berupa kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya.”


Profesor Agung Tampan melanjutkan bahwa “Jika agama telah menjadi komoditas bagi para pemilik modal, maka yang terjadi adalah para pendakwah akan menjadi sangat tinggi bayarannya bukan karena kualitas ceramahnya, tapi karena jumlah fans di sosial medianya sampai berjuta-juta. Atau jam terbangnya di televisi sudah setara dengan jumlah episode sinetron Uttaran.”

Profesor yang menamatkan pendidikan S1 hingga S8-nya di University of Googling tersebut pun melanjutkan bahwa jika kapitalisme agama terjadi, para pendakwah cenderung tidak lagi memikirkan bagaimana para jamaah memaknai dakwahnya, tapi justru lebih memikirkan bagaimana seharusnya dia berdakwah agar bisa menjadi populer, sehingga dengan otomatis mendapat harta berlimpah yang menurut pemikiran para pendakwah itu hal yang baik, karena Rasullullah SAW pun adalah seorang yang kaya raya (meski Rasulullah SAW kaya raya lewat jalan berwirausaha bukan berdakwah).

Hal itu bisa sangat berbahaya, terlebih jika para pendakwah justru melihat antusiasme jamaah sebagai peluang pasar. Pendakwah akan dengan sangat mudah mengunakan dalil kitab suci dan sabda Rosul sebagai media kampanye dakwah komersil dan produk turunannya. Jika dalil kitab suci dan sabda Rosul hanya dijadikan sebagai kampanye menjual hijab, masih ‘ok lah kalo begitu’ meski memang harus mengakui bahwa para pengusaha kerudung yang tidak bisa berdakwah memiliki pesaing kompetitif dan terkenal.

Tapi bayangkan jika dalil kitab suci dan sabda Rosul tersebut disalahgunakan untuk menjalankan kekerasan, bom bunuh diri, makar, dan meraih pucuk kekuasaan, salah satu contohnya mengatasnamakan ‘Khilafah’ dan memaksakan kehendak bahwa yang berbeda –beda harus menjadi sama, maka profesor menyatakan lebih baik pindah saja ke planet mars menyatu dengan langitnya yang merah. Menurut profesor, selama masih bisa nafas dan kentut, tidak ada hal yang lebih indah selain harmoni keberagaman makhluk ciptaan-Nya di muka bumi.

Dalam bab terakhir di bukunya, profesor yang juga masih jomblo tapi selalu mengaku-ngaku punya pacar meski pacarnya berbentuk guling berpesan bahwa “Banyak-banyaklah ngopi dan jalan-jalan, soalnya banyak piknik mah ngabisin duit. Ngopi gak harus di laosen atau setarbak, ngopi merk Fireship yang serebuan pun jadi. Juga jalan-jalan, gak usah jauh-jauh maksain ke Bali, ke rumahnya hanya untuk menatap wajahnya pun itu sudah jalan-jalan.”

(Dikutip dari Google dan bermacam-macam setatus di Facebook.)

2 komentar:

  1. Sebar ayat ayat yg mewajibkan jilbab, trus ujung2nya jualan jilbab deeeh..

    Ya gitu deh. Haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yoi mas... Untungnya ustad radikalnya bukan sampean, coba kalo sampean, bisa bawa-bawa hadist suruh bikin vector... wkwkwkwk....

      Hapus

Kalau mau komen silahkan komen. Siapa aja boleh komen, apa aja asal tidak menghina SARA. Woles men...