"Kita sudah cukup begini, kita hanya punya nama baik, itu saja yang harus kita jaga terus." (Muhammad Hatta)

Rokok, Aku Mencintamu Tapi Aku Harus Melupakanmu

Rabu, 15 Juli 2015

Assalamu'alaikum, Wr, Wb.

Gak kerasa ya bentar lagi lebaran di tahun 1436 Hijriah atau 2015 Masehi. Udah pada beli baju dan sendal buat lebaran belum? Kalo belum tenang aja, masih ada jemuran tetangga orang kaya dan sendal musolah toh lebaran itu gak harus berbaju baru, gak usah dipaksakan beli apa-apa serba baru bahkan mewah, yang penting bersih dan wangi. Tapi yang lebih penting lagi, hati ini harus bersih, ikhlas, dan ridho di hari lebaran nanti dan hari-hari berikutnya. Ecieee...

Okelah saya gak mau ngomongin lebaran, karena jujur aja, sampai tulisan ini diterbitkan saya belum beli baju lebaran... (curcol) Palingan besok deh, amiinn.... 

Rokok, barang konsumtif berbentuk lintingan batangan yang menjadi perdebatan banyak orang ini memang selalu asyik bukan hanya saat dihisap, tapi asyik juga saat ratusan triliunan rupiah cukainya menggaji banyak PNS, Polisi, dan Tentara. Rokok bukan hanya asyik saat dihisap, tapi asyik juga bagi banyak taipan yang namanya selalu digdaya di daftar 50 Forbes. Rokok bukan hanya asyik saat dihisap, tapi asyik juga saat alur produksi hingga distribusinya ternyata bisa menghidupi puluhan juta kepala. Ya rokok, barang konsumtif yang banyak para ahli kesehatan sepakat untuk mencapnya buruk bagi kesehatan.

Tapi saya tidak mau berdebat soal rokok dan merokok. Meski saya tahu bahwa akhir-akhir ini tren terhadap perlawanan rokok semakin besar yang menyebabkan ada semacam diskriminasi diantara pecandu rokok (perokok) dan bukan pecandu rokok, apalagi di dunia Internasional. Ah entahlah deh... Semoga saja saya sotoy.

Jelasnya saat ini, WHO (World Health Organization) mendesak Indonesia untuk meratifikasi FCTC, sebuah traktat yang mengatur pengendalian tembakau karena alasan kesehatan, tapi nyatanya untuk junk food mana? belum ada tuh koar-koarnya. Harusnya jangan pilih kasih, kalo tidak sehat ya bilang juga tidak sehat, meski pun junk food itu memang nikmat. Jelasnya juga, masih banyak fasilitas publik yang belum menyediakan smoking area yang memadai, berbeda sama apa yang mereka lakukan terhadap junk food.

Saya memang pembela rokok. Alasannya sederhana, Engkong saya merokok sampe sekarang di usianya menginjak 85 tahun lebih. Juga banyak orang tua (termasuk abah saya sendiri) yang saya lihat di tanah kelahiran saya adalah para pecandu rokok.

Rokok meski pahit mengatakannya harus diakui bahwa inilah budaya baru Bangsa kita sejak berabad-abad silam. Jauh sebelum McDonald atau KFC membuka cabangnya di Indonesia, Rokok telah ada dalam kisah Roro Mendut. Rokok telah sejak lama dihisap kakek buyut kita jauh sebelum para pengusaha rokok putih dan junk food dari Negeri Paman Sam menunjukan tajinya. Rokok juga telah lama mengobati luka-luka, kegelisahan, kerisauan, dan telah menjadi hiburan dalam setiap keringat lelah terutama bagi kalangan menengah ke bawah di Nusantara.

Saya pembela rokok karena memang saya perokok. Merokok telah menjadi kebiasaan di diri saya sejak kelas 3 SMA, dan terus meningkat hingga puncaknya saya bisa menghabiskan 1-2 bungkus rokok per hari.

Meskipun begitu, bukan berarti saya mengamini bahwa merokok itu adalah baik. Saya sepakat dengan para ahli kesehatan bahwa merokok itu buruk bagi tubuh. Tapi yang jelas merokok dan tidak merokok itu telah menjadi pilihan sejak beratus-ratus tahun lamanya. Dan yang terpenting, jangan pernah men-judge para perokok sebagai pemilik mental keledai dan bodoh, karena anda belum tahu bagaimana rasanya melepaskan diri dari ketergantungan rokok.

Sebenarnya saya telah memiliki keinginan untuk berhenti merokok sejak tahun 2013, namun waktu itu gagal. Saya masih ingat, pada tahun 2013 saya berhasil selama 27 hari tanpa rokok. Tapi setelah itu apa daya, saya kembali menjadi perokok aktif yang menghabiskan minimal 1 bungkus rokok perhari. Di 2014 bahkan tidak ada keinginan saya untuk berhenti.

Di tahun ini keinginan saya untuk berhenti merokok timbul kembali. Meskipun akhirnya hanya keinginan-keinginan labil yang muncul, yang hanya sanggup tidak menghisap rokok tak lebih dari 7 - 10 hari. Tapi saya tak menyerah, pada april saya sempat pecahkan rekor 15 hari tanpa rokok, meski kemudian menjadi aktif lagi.

Tapi sekali lagi, saya tidak menyerah. Kali ini rekor terbaru tidak merokok yang saya dapat adalah selama 23 hari dari tanggal 15 Juni hingga 7 Juli 2015. Seharusnya saya bisa lebih lama mempertahankan rekor, berhubung pada 8 Juli 2015 saya berinteraksi dengan mayoritas para perokok dan tentu saja saya tidak mungkin menyuruh mereka untuk tidak merokok, akhirnya saya pun tergoda hingga pada malam itu tercatat dua batang rokok saya habiskan.

Ada kabar gembira semenjak rekor terbaru dibuat. Hingga saat ini saya sudah mulai terbiasa hidup tanpa bungkus rokok dan isinya (bilang aja lagi kismin). Saya sudah mulai merasa pusing walau baru merokok sebatang. Hehehehe, semoga saja ini menjadi momen yang tepat untuk mengakomodir keinginan saya berhenti merokok total. Amiinn....

Demikianlah tulisan yang lagi-lagi tak sesuai antara topik yang dibahas dengan judulnya. Juga tentang endingnya. Ayo berhenti merokok, berhenti pula makan junk food. Piss...

Wassalamu'alaikum, Wr, Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalau mau komen silahkan komen. Siapa aja boleh komen, apa aja asal tidak menghina SARA. Woles men...