"Kita sudah cukup begini, kita hanya punya nama baik, itu saja yang harus kita jaga terus." (Muhammad Hatta)

Sebuah Cerpen Jomen: Surat Untuk Kemalasan Posting

Minggu, 30 Januari 2011

Bgenk diam, menatap monitor yang isinya fesbuk dilengkapi artikel berita dari berbagai portal sambil menggoyang tak tentu arah sebuah mouse yang terletak di samping monitor tersebut. Mungkin, jika sang mouse 20 ribuan itu bisa bicara, ia akan mengomel secara unlimited karena sang mouse telah dibuat mabok di atas mouse pad-nya sendiri.

Bgenk semakin suntuk diantara berlalu lalangnya keheningan malam yang terus bolak-balik tak karuan meski lagu disko, dangdut remix sampai campursari koplo tak kalah sibuk menggaung di speaker punya bosnya. Pipi kiri menjadi penyangga sang kepala terlentang aduhai, menunggu "Kapan ini para customer mabok di depan kompie, bayangin aja coy, udah jem 2 pagi nih," keluh Bgenk dalam hati untuk kesekian kalinya mengeluh, setelah lelah mengeluh karena kecepatan koneksi yang sempat 'mau-nggak-mau' beberapa hari lalu.
Terlintas 'bgenkblog' di benaknya. Sebuah Blog yang menurut Bgenk paling top, paling gaul, paling keren dan paling menarik di jagat maya. (Uuueeeekkkk.... Anda mau muntah bukan mendengar itu? Untuk itu narator mempersilahkan pembaca sekalian untuk muntah). Posting, itulah kata yang paling menghabiskan memori otaknya malam itu.

Banyak ide terlempar begitu saja dari otak. Banyak hal yang sangat ingin ia curahkan di atas ruang tanpa batas tersebut. Apa daya, ide dan hal tersebut harus tertendang sia-sia karena kemalasan Bgenk untuk mengembangkan idenya menjadi sebuah catatan berkualitas untuk dibaca. Hingga akhirnya, kemalasan merambat gawat ke jari-jarinya yang berakibat tak terjadinya gaya kinetis dari ujung jari menuju papan keyboard, jelas berdampak terhadap tak berfungsinya CPU dalam memproduksi satuan Byte yang terangkai sedemikian rupa.

Kepada: Jiwa, bagian dari diri ini.

Dear Jiwa,
Bagaimana kabarmu? Aku disini baik, sangat baik. Terlebih ditemani si Kopi dan si Rokok dengan asapnya yang diberi mandat untuk mengusir si Nyamuk yang terus mengganggu kulitku dalam bentangan tugasku malam ini.

Jiwa, aku tahu, akhir-akhir ini kamu sering mengeluh. Mengeluh kepada Orang Tua kita kenapa beliau tak tak mampu menjadikanmu apa yang kamu harapkan di masa kini. Meski kita tahu bahwa mereka berjasa teramat besar kepadamu termasuk kepada diriku ini. Mengeluh kepada setiap lalu lalang bayangan gila sebelum tidur atas semua usaha sia-siamu. Mengeluh kepada keterpurukanmu yang kamu buat sendiri, menyarang di setiap sudut pemikiranmu yang tak pernah aku mengerti.

Jiwa, aku tahu, semua keluh kesahmu hanya kamu dan sang kuasa yang tahu. Dan jelas tak semuanya peduli atas keluh kesahmu. Karena memang tak ada untungnya memperdulikanmu.

Oke, cukup aku membahas tentangmu. Sekarang, langsung saja kusampaikan inti dari surat ini.

Jiwa, aku mau bertanya, kenapa kemalasan bebas ria di diriku? Menendang-nendang semangatku. Benar, semangatku tak sepanas waktu SMA dulu, yang tak peduli uang 7000 bahkan 3000 perak yang kukepal sebagai bekal harus bisa menembus 2 trayek angkot menuju sekolahku.
Jiwa, aku mau bertanya, kenapa semangatku tak serajin waktu kelas 2 SMA dulu? Benar, semangat untuk belajarku redup. Semangat untuk membantu ibu-bapak padam. semangat untuk menghancurkan segala tipu daya nafsuku lenyap. Termasuk semangat untuk menyembah syukur 5 waktu kepada-Nya tak pernah berhasil kulakukan setiap hari.

Jiwa, aku tahu, kamu akan selalu bertanggung jawab atas semua ini, meski aku pun ikut andil di dalamnya. Dan aku pun tahu, kamu akan selalu bertanggung jawab atas semua ini karena aku percaya kamu jiwa yang berjiwa besar.

Satu lagi dariku. Jiwa, disini aku siap sedia menunggu apa maumu terhadap diri ini. Yang jelas, aku siap sedia mengarungi hidup bersama desis angin yang kadang tak selalu membelai rambut ini.

Sekian suratku yang panjang lebar ini. Kutunggu balasan suratmu jiwa.

Dariku,
Diri ini.

Bgenk melipat surat khayalannya tersebut, membiarkan imajinasinya mengirim surat tersebut kepada sang jiwa.

Ternyata, dalam dunia imajinasi Bgenk, semua hal dapat dilakukan dengan sangat cepat. Tak terukur oleh satuan ukuran dimensi manusia. Berbanding terbalik dengan ironi kehidupan yang sering ia lihat di depan mata dan televisi. Ironi tersebut teramat lamban terselesaikan bahkan terkadang tak terbantahkan terkhianati. Karena kecepatannya itu, hanya dalam sekejap, muncul surat balasan dari sang jiwa.

Buat : Diri Ini, yng menyatu bareng gue.

Dear Bro,
Sebelumnya gue kabarkan bahwa gue bae-bae aja disini. Terima kasih untuk kopi item dan rokoknya, yang ngefek langsung mengubah suasana riang gembira.

Keluh kesah? Gue emang suka berkeluh kesah dalam bentuk dan wujud seperti itu. Tapi, dalam keluh kesah yang setiap hari berjubel. Baris-berbaris mengantri bergantian dalam kotak nafsu, gue selalu mencoba tersenyum seperti wajah Bapak penarik becak ketika sedang mengayuh becaknya yang berisi penumpang. Gue selalu mencoba tegar, seperti anak-anak pemulung yang nasibnya lebih parah daripada gue. Dan satu, gue bangga karena ternyata banyak orang di luar sana berkeluh-kesah melebihi dosisnya tanpa memeperdulikan efek dari realita yang ada hingga akhirnya mereka dikuasai nafsu omong kosong yang melekat erat seperti benalu. Satu lagi, gue cuma manusia konvensional, bukan spesial. Ya, tak ada yang spesial dari gue, jadi bukan hal yang aneh kalo gue selalu berkeluh-kesah. Hahaha...


Baiklah-baiklah, cukup sudah juga gue membahas tentang keluh kesah. Sebuah hal yang tak akan terkikis habis selama oksigen masih bisa masuk ke dalam paru-paru, memompa laju darah yang berliter-liter. Yang jelas sang Pencipta akan selalu mendengar dan menatap doa kita. Mungkin cuma masalah waktu dan sejauh mana daya jelajah kita dalam berusaha. Sebagai jawaban terkabulnya doa.

Lanjut, mengenai kemalasan ya? Kemalasan memang berhubungan langsung sebagai akibat padamnya semangat. Tapi padamnya semangat bukanlah akhir dari hilangnya kemandirian menjalankan hidup seseorang. Semangat berfluktuasi seperti harga saham yang hanya dimiliki orang-orang elite di sebrang tembok sana. Dan merupakan hal yang wajar kalo semangat berfluktuatif.


Bro, memang semua ini adalah tanggung jawab gue. Gue yang menyebabkan semangat gulita hingga akhirnya sang malas berpesta pora. Analogi Gayus Tambunan, itulah gambaran yang tepat mengenai kemalasan yang sekarang bebas bergelora. Ya, kemalasan membayar semangat untuk padam dengan sejumlah bayangan-bayangan ketidakpastian jelajah cita-cita. Dan dia pun (kemalasan), membayar semangat untuk padam dengan sejumlah bayangan-bayangan kenyataan yang seolah mencaci-maki. Dengan semua itu kemalasan menyogok semangat untuk padam sehingga dia bebas kesana-kemari, mengolok-olok setiap sisi tanpa peduli akan status tersangka penyebar kejatuhan.


Seperti apa yang lu bilang bro, gue emang jiwa yang berjiwa besar. Akan bertanggung jawab atas semua kesalahan yang di perbuat. Untuk itu, sebagai bentuk tanggung jawab gue, gue bakal membuat sebuah pernyataan yang akan menyalakan lagi semangat. Pernyataan itu adalah gue akan menjadikan bayangan ketidakpastian jelajah cita-cita dan bayangan kenyataan yang ada dalam pandangan mata sebagai bahan bakar utama dalam menyalakan semangat sehingga kemalasan tak akan bisa menyogok semangat untuk padam dengan itu semua.


Bagaimana? Lo tertarik dengan pernyataan tersebut? Tapi gue gak mau pernyataan tersebut berkekuatan hukum absolut. Sebagai Jaminan, percaya kalo gue adalah jiwa yang berjiwa besar. Percaya kalo gue akan mencoba sekuat tenaga merealisasikan pernyataan tersebut.


Demikian surat yang tak kalah panjang ini. Mudah-mudahan lo puas atas pernyataan tersebut. Gue di sini pun selalu siap sedia bekerjasama dengan bijak. Mohon maaf kalo kata-kata yang gue tulis teramat diluar awam. Sengaja, sebagai perlawanan terhadap olok-olok kenyataan selama ini.


Dari Gue,
Jiwa.


Dengan sedikit tarikan nafas, Bgenk selesai membaca surat tersebut. "Oke ternyata seperti ini," tuturnya dalam hati.

Akhirnya, setelah membaca pernyataan tersebut hati Bgenk terasa bebas-lepas beterbangan. Walaupun ia tahu bahwa pernyataan itu memang sulit dilakukan. 

Lantas Bgenk menyetujui dan bersama jiwa mencoba menjalankan pernyataan tersebut. Sebagai awal, ia akhirnya menulis cerpen ini yang ia masukan kedalam kategori 'cerita murahan' di Blog-nya.


Tetap semangat kawan, meski barikade kepalsuan menerjang garang pertahanan ambisi dan cita-cita kita.

Tangerang, 30 Januari 2011
Jam 04 pagi lewat 36.
Sesaat setelah gema Adzan Subuh berkumandang.

4 komentar:

  1. tetap semangat, kawan... jangan malas melawan kemalasan... :)

    BalasHapus
  2. @auliadriani.... thanks 4 dukungannya... hihihihi....

    BalasHapus
  3. huwow.. bikin ini sambil begadang nih kayaknya!

    BalasHapus
  4. @ndop... iya mas, dari jam 2 malem... sambil jaga warnet....

    BalasHapus

Kalau mau komen silahkan komen. Siapa aja boleh komen, apa aja asal tidak menghina SARA. Woles men...