Assalamu’alaikum, Wr, Wb.
Apa kabar sobat dumay???? (udah kayak anak alay aja gw
ngomong sobat dumay.. hikz hikz hikz...) Semoga kita semua diberi kabar baik.
Aminn..
Sebetulnya gw terlambat mau nulis ini, soalnya ini tulisan
soal curhatan gw menghadapi pilpres untuk mengajak para swing voters memilih dan tidak golput (Lebay lu genk, emang lu calonnya gitu? Emang
lu tim suksesnya gitu?). Ya tinggal 2 harian lagi coy. Tapi daripada enggak
sama sekali. Hehehehe...
Ok di pilpres 2014 kali ini memang bisa dikatakan menentukan
pilihan yang sangat sulit buat gw. Meski pun gw tahu suara gw yang sah cuma di
hitung 1 dari beratus-ratus juta surat suara yang beredar 9 juli nanti man.
Tapi itulah yang ada dalam pikiran gw, gw gak boleh golput. Entahlah, kalimat
GW GAK BOLEH GOLPUT itu seperti melekat semenjak gw bisa milih pertama kali di
Pilbup Tangerang tahun 2008. Itu seperti semacam idealisme, atau mungkin hasil
dari doktrinasi para militan politik (kader partai, timses partai dan media
tentunya) yang selalu membuat bahwa pemilihan di hajatan politik selalu WOW,
sehingga membuat gw kalo gak ikutan milih gimana gitu rasanya.
Yang jelas semenjak bisa milih bupati Tangerang di 2008, gw
gak pernah absen ikutan milih-milih yang lainnya, (kecuali memilih kamu sebagai
pendamping hidupku selamanya aja sih yang belum. :D) meski sebetulnya di
Pilpres 2009, gw milih 2 pasangan, yaitu SBY-Boediono dan JK-Wiranto karena gw
ngefans sama 2 nama tersebut, entahlah itu masih di bilang GOLPUT atau enggak
ya? Au ahh... (Gimana sih genk, katanya gak boleh Golput, tapi lu ngajarin kita supaya surat suara gak sah, gak konsisten..)
Pilpres 2014 kali ini sangat sulit menurut gw di banding
pemilihan-pemilihan sebelumnya kayak milih Bupati, Gubernur atau Presiden di periode sebelumnya. Ya, Pilpres kali Cuma ada
2 calon dari 2 koalisi, dan figur utama dari kedua calon tersebut adalah dari
partai oposisi di 2 periode sebelumnya yang sangat gw benci.
Di 2004 dan 2009 gw ngefans banget sama pak SBY, otomatis
segala kritikan oposisi di periode tersebut selalu gw anggap NOL. Misal
kayak naikin harga bensin, gw setuju
kalo SBY selalu naikin harga BBM, kalo perlu PERTAMAX aja yg dijual, tapi
Fraksi oposisi di DPR selalu aja sok ngebelain rakyat, bawa-bawa kenaikan BBM
merugikan rakyat, udah keliatan banget mereka itu penjilat, meski ujungnya apa?
Toh mereka gak bisa tuh ngalangin SBY buat gak naekin bensin.
Lanjut...
Gw selalu berharap seandainya Pilpres kali ini memunculkan
nama alternatif, alias nomor 3, gw pasti milih nomor 3 tersebut meski pasangan
nomor 3 tersebut moral dan etikanya sangat buruk. Karena apa? Karena gw gak mau
dianggap menjilat ludah sendiri seperti para anggota DPR di senayan, tapi apa
daya, Alloh SWT sudah menakdirkan bahwa Pilpres 2014 ini Cuma 2 pasangan aja. 2
Pasangan yang satunya tak pernah gw kagumi, dan satunya lagi pernah gw caci
maki habis-habisan di social media.
Oke gw akan bahas nomor 1 dulu.
Untuk pasangan nomor 1 Pak Prabowo Subianto dan Pak Hatta
Rajasa, kedua nama ini tak pernah terngiang untuk dikasihani baik di pikiran
atau hati gw. Sehingga gw gak pernah punya rasa untuk nge-fans sama kedua tokoh
Nasional ini. Entahlah, mungkin alasannya dari banyak sumber bacaan yang gw
baca, kisah-kisah para orang-orang yang hidup di orde baru atau siaran televisi
membuat gw seolah enggan menyukai mereka. Toh lagipula mereka orang kaya dan
pejabat tinggi, dengan gw gak ngefans juga mereka gak bakal jatuh miskin atau
kehilangan pendukungnya.
Ya jujur aja, meski abah gw sangat nge-Fans sama orde baru
(Soeharto) yang katanya beras selalu murah, pemimpin yang lemah lembut tapi tegas,
rakyat tak pernah dibuat bingung soal berita korupsi, itu yang menurut abah
enaknya zaman Soeharto dulu sehingga secara otomatis abah mengatakan bahwa “nomor
1 lah presidenku” karena nomor 1 itu seperti pak Harto, tegas dan berani. Oke
gak masalah, biasa aja keles, itu pilihan. Gw gak maksa abah untuk membuka
hatinya.
Kakak gw selalu bilang kalau gw ini korban buku, korban
sumber bacaan. Gw selalu men-judge zaman Soeharto itu buruk meski sebetulnya gw
gak pernah ngerasain besar di zaman Soeharto. Oke jika itu memang penilaian
kakak gw, no problemo, yang jelas kalo memang zaman Pak Harto lebih enak mengapa
abah selalu curhat bahwa “GAJINYA SELALU HAMPIR HABIS UNTUK MEMBAYAR HUTANG
SUSU KALENG BUAT GW KE KOPERASI TIAP BULAN.” Ya, abah selalu curhat seperti itu tiap kita
kumpul bareng soal gajinya sebagai tukang kebersihan di Rumah Sakit Umum
Tangerang di akhir dekade 80-an dan awal 90-an. Padahal katanya “penak zamanku
tho le?”
Dan satu hal yang masih gw belum sepaham sama abah. Abah
selalu menganggap bahwa PRESIDEN itu RAJA. Pak Harto itu RAJA, jadi ya wajar
kalo berkuasa hampir separuh hidupnya. Yang jelas gw selalu benci perkataan
seperti itu, Presiden cukup dihormati, bukan di agung-agungkan. Entahlah,
mungkin karena itulah para pejabat kita, pegawai-pegawai negri kita, masih aja
NGALUNJAK sama rakyatnya, pun hingga saat ini, masih pada serakah. Jadi
sepertinya memang ada yang salah soal cara berpikir di kebanyakan orang
Indonesia, sejak dulu, sejak zaman Raja-raja, FEODAL masih utama.
Ya, karena alasan gw benci sama orde baru, makanya gw gak
pernah suka sama orang yang namanya Pak Prabowo Subianto. Semenjak
kemunculannya kembali di TV pasca makin stabilnya politik dan ekonomi di Negeri
ini sekitar gw SMP kelas 2 naik ke 3 (gw lupa tahun persisnya), gw baru tahu
ada orang bernama Prabowo Subianto. Dan akhirnya gw tahu, kalo doi mantan
mantunya pak Harto, anak emas pak Harto di akhir-akhir masa kediktatorannya,
juga rekam jejaknya yang kontroversial mengenai Operasi Santa Cruz dan Tim
Mawar. Sejak tahu itu, gw gak nge-fans sama Jenderal Prabowo.
Gw gak mau ngungkit koreng-koreng orde baru, yang kalo lu mau cari di google aja
banyak banget. Yang jelas satu hal yang membuat gw merasa sakit hati sebagai
Anak Bangsa, Orde Baru berkuasa 30 tahun lebih tanpa prestasi yang mengagumkan
soal pemerataan pembangunan. Itulah alasan mengapa gw gak mau pilih Pak Prabowo
(Anak Emas Orde Baru) jadi Presiden.
Gw lebih setuju kalo pak Prabowo itu jadi pengusaha
gemilang yang superkaya, namanya bisa sejajar dengan Carlos Slim Helu, Bill
Gates atau Keluarga Mittal. Gw lebih bangga punya mantan Jenderal yang seperti
itu, bukan menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa “kita akan gaungkan
kembali Macan Asia,” seolah-olah bahwa Indonesia zaman dahulu, zaman dimana pak
Prabowo mendapat gaji dari APBN Indonesia pernah menjadi macan, faktanya
Indonesia cuma dikuasai oleh orang kaya yang dekat dengan Presiden,
kontrak-kontrak kekayaan Negara yang sebetulnya isinya merampas dimulai di
zaman ini.
Ah okelah, itu memang hak pak Prabowo sebagai Warga Negara
Indonesia yang katanya pengen banget jadi Presiden semenjak 2004 di Golkar,
masih kalah suara di 2009 akhirnya bikin koalisi oposisi sama Mega dan di 2014
ini bikin koalisi Merah-Putih. Semoga saja kalo pak Prabowo-Hatta kalo menang,
koalisi ini benar-benar tunduk pada Merah-Putih dan Pancasila yang selalu
mereka bawa-bawa dalam kampanyenya.
Amiinnn....
Oke sekarang gw akan bahas nomor 2.
Jujur ya, sebelumnya gw bener-bener seorang haters-nya Pak
Jokowi. Bahkan saat doi pede mencalonkan diri jadi Gubernur DKI, yang melepas
jabatan di Kota Solo. Saat itu gw udah seperti orang yang paling beriman selangit
padahal gw gak punya hak pilih. Mungkin gw ke makan isu kampanye hitam soal
rasisme, maklum Pak Jokowi menggaet Ahok yang tak lain tak bukan adalah seorang
Tionghoa. Gw selalu mengatakan di socmed bahwa Jokowi itu punya rencana
terselubung. Jokowi itu gak pantes mimpin Jakarta. Oh no....
Saat itu gw belum buka data dan fakta soal Kota Solo, juga
soal kehebatan pak Ahok di pulau Belitung. Gw selalu mengkhawatirkan kalo
Jakarta yang notabene kota tetangga gw bakal menjadi makin hancur, banyak
Yahudi yang makin mengontrol. Padahal kita tahu, Yahudi udah ngontrol negeri
ini sejak zaman Raja-raja. Ya, Yahudi itu menurut gw lebih pantas dikatakan
kepada orang yang serakah yang udah ada sejak zaman raja-raja.
Tapi nyatanya,
pasangan Jokowi-Ahok ini memang benar-benar gemilang, bener-bener bekerja. Satu
tahun pertama aja udah keren, bikin terobosan, gak kayak Pemda-pemda lain atau
Pemda gw sendiri (Banten) yang masih menerapkan ingin dirajakan dan NGALUNJAK sama
Rakyat.
Tapi tetep aja, meski udah mulai bekerja dan bikin prestasi,
hingga awal mei 2014 gw masih aja hatersnya Pak Jokowi. Gw selalu bilang, “jah
baru juga kemaren sore jadi Gubernur pengen
Jadi Presiden, bisa apa? Negara ini bukan tempat coba-coba”. Gw juga
selalu mencari kesalahan-kesalahan pak Jokowi yang tersiar media. Kayak Bus TJ
karatan, padahal sampe sekarang mana, doi gak terbukti. Atau soal blusukannya
yang sering gw sebut busuk, padahal saat itu gw sudah tahu kalo blusukannya itu
ternyata membuahkan hasil.
Mungkin alasan gw masih menjadi haters adalah masih adanya
sedikit kecerahan dalam perpolitikan Indonesia saat itu, dengan adanya Konvensi di
Partai Demokrat yang notabene gw adalah simpatisan ilegalnya (Karena gak punya
kartu anggota). Konvensi Demokrat harus gw acungi jempol. Demokrat krisis figur
pasca taersangkutnya Anas di Hambalang, akhirnya mereka mengadakan Konvensi.
Nama-nama besar yang sudah bekerja seperti Pak Dahlan Iskan dan Pak Anies
Baswedan ada di dalamnya. Dari situ gw merasa Indonesia ada harapan karena
masih ada pemimpin yang cerah dan benar-benar pernah bekerja, bukan hanya sibuk
menjilat.
Hingga saat Demokrat Konvensi, gw masih setia nge-fans sama
Demokrat, di Pileg kemaren jujur gw pilih Pak Wahidin Halim (Mantan Walikota
Tangerang yang gemilang) buat mewakili Tangerang Raya di Senayan. Cuma sayang,
hasil Pileg 2014 suara Demokrat tersungkur jauh, lagipula kedua idola gw itu
gak berhasil memenangkan Konvensi. Entahlah, mungkin memang benar Konvensi ini Cuma
pencitraan partai. Tapi setidaknya, Demokrat sudah memberi contoh yang baik
kalo Ketua Umum itu bukanlah segalanya. Partai sudah seharusnya menggerakan
fungsi mencari kader terbaik di akar rumput, bukan siapa yang punya uang dia
menang.
Hingga awal Mei 2014 gw masih sibuk mencela pak Jokowi,
bahkan gw gak follow twitternya tuh. Tujuannya simpel sebenernya, tadinya sih
supaya orang-orang ya minimal temen-temen gw di facebook dan twitter gak milih
PDIP yang tak lain tak bukan partai oposisi bersama Gerindra yang gw benci.
Ternyata gw ini jahat ya? Padahal gw bukan kadernya Demokrat yang resmi.
Hmmm... Ampuni hamba Ya Alloh.
Tapi akhirnya, gw memang harus menjadi penjilat ludah
sendiri. GW SEORANG HATERS JOKOWI AKHIRNYA KE MAKAN KARMA MENDUKUNG PAK JOKOWI
JADI RI 1. Gw harus menjadi seperti Ruhut Sitompul, meski sebenernya gw sama
Ruhut lebih duluan gw dukung Jokowi-nya. Gw harus menjadi seperti Pak Jusuf
Kalla yang sebelumnya sempat mengatakan pasangan capresnya itu buruk. Ya
setelah Demokrat tak bisa nyalonin presidennya sendiri, koalisi dengan Golkar
pun gagal, lalu KPU ngumumin cuma ada 2 pasang calon yang keduanya adalah
oposisi buat orang yang gw kagumin (Pak SBY), akhirnya Pilpres kali ini terasa
seperti memakan buah simalakama.
Kurang lebih selama seminggu gw galau, “pilih siapa ya?” ini
ciusan lho. Idealisme gw yang gak boleh GOLPUT di lawan oleh Nafsu picik yang
menganggap bahwa TAK ADA PASANGAN CAPRES YANG BAIK DI PILPRES INI. “Dosa apa
hamba ya Alloh hingga bisa berpikir seperti itu? Berpikir bahwa Hanya Hamba
paling benar?”
Akhirnya munculah objektivitas, meski objektivitasnya masih
sebatas versi gw. Ya, gw cari semua data keburukan, kejelekan, kebodohan dan
tektekbengek dari kedua calon. Lantas membandingkannya. Oke, gw gak mau ah
memaparkan keburukan atau kebaikannya, soalnya takut di bilang berat sebelah
lagi. Datanya gw dapat, ternyata jika dikembangkan akhirnya bisa ditemukanlah siapa
yang sebenarnya telah mencatatkan banyak keburukan di jejak-jejak hidupnya. Oke
itu versi gw ya, versi lo mungkin beda.
Setelah mendapat data keburukan kedua capres, akhirnya gw mencari kebaikan dari kedua pasang capres-cawapres tersebut. Ya gw dapat data kebaikan, kenormalan, kekerenan dan tektekbengek. Datanya gw dapat, ternyata jika dikembangkan akhirnya bisa ditemukanlah siapa yang sebenarnya telah mencatatkan banyak kebaikan di jejak-jejak hidupnya. Oke itu versi gw ya, versi lo mungkin beda.
Oh iya, gw bukan cuma hitung soal rekam jejak-kebaikan para capres
dan cawapres, tapi para rekan-rekan koalisinya
juga gw hitung, para tim sukses dan tentunya promosi-promosi iklan mereka di
media massa, itu juga jadi bahan pertimbangan gw. Termasuk Visi-Misinya tentunya. Termasuk dua TV (TV One dan
Metro TV) dua sumber jurnalistik ini juga masuk hitungan, kita bisa lihat mana
TV yang menjilatnya biasa aja dan yang menjilatnya over alay. :D
Akhirnya gw bisa objektif punya pilihan, meski
objektivitasnya ya versi gw sendiri, ingat versi lu mungkin beda. Meski mungkin
objektivitas itu muncul karena nafsu picik yang selalu berpikir bahwa kedua
calon adalah jelek. Akhirnya gw bener-bener gak golput bray.
Yang jelas menurut gw, nalar itu akan sejati jika digunakan
untuk memilih salah satu pilihan terbaik dari dua pilihan yang menurut nafsu
buruk. Itulah menurut gw fungsi nalar seutuhnya. Maaf lebay kata-kata
mutiaranya. :D (Ini kata-kata mutiara? Mirip
kata-kata orang mabok genk.)
Oke itu aja sih pemaparan singkat gw (Singkat di Beijing,
Hongkong udah mainstream). Yang jelas satu pesan, golput itu Cuma CARA CENGENG
sebagai Anak Bangsa yang harus hidup dalam aturan konstitusi Indonesia. Jidat
kalian masih jadi beban buat Negara ini, kalo gak mau milih mending pindah
keWargaNegaraan aja. Ayo bro para swing voters, masa iya sih gak ada yang bagus
di mata lu. Buruan tentukan pilihanmu, jangan sampe nyesel.
Dan semoga yang terpilih nanti, baik Nomor 1 atau Nomor 2,
bisa menjalankan Visi-Misinya dengan lancar, tanpa hambatan, dan semoga bukan Cuma
janji. Amin Ya Robbal Alamin...
Terakhir, Untuk Pemimpin terpilih tahukah kau? Sejak zaman
kakek buyut kami di Negeri ini lahir, luka seperti menjadi teman mereka saat
berusaha mengenyangkan perut, jadi masihkah kalian berniat melukai kami sebagai
anak cucu yang lahir dari rahim-rahim yang selalu terluka?
Demikian curhatan alay gw kali ini, atas nama kerabat kerja
yang bertugas saya mohon undur diri dari hadapan anda.
Assalamu’alaikum Wr, Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kalau mau komen silahkan komen. Siapa aja boleh komen, apa aja asal tidak menghina SARA. Woles men...