"Kita sudah cukup begini, kita hanya punya nama baik, itu saja yang harus kita jaga terus." (Muhammad Hatta)

i-Rasional (Bagian 1)

Kamis, 06 Maret 2014

Petang itu aku berjalan di antara angin yang mesra membelai sejuk sel kulit. Begitu sejuk, sampai-sampai aku seolah dirayu untuk menemukannya, mengenalnya bahkan mencintainya. Pikirku, mungkin ini hanyalah cara angin mencari perhatian. Tapi harus ku akui, cara angin mencari perhatian seperti itu sangat hebat. Membelai dengan lembut tak terlihat. Mataku tak pernah tahu, tapi angin tetap keras kepala membelai mesra diriku, meski sebenarnya ia tahu bahwa apa yang ia lakukan kepadaku itu sia-sia, aku tak bisa membalas membelainya.

        Cara angin memperlakukanku itu mirip cinta. Karena cinta, angin tak peduli meski aku dan bermilyar-milyar manusia, dan putik dari berbagai penjuru padang bunga, dan dedaunan pepohonan yang tak terhingga dan tentu benda-benda tak bernafas yang tak pernah di sensus, yang pernah ia belai tak akan pernah bisa membalas naluri cintanya tersebut. Tak akan pernah bisa. Karena kenyataannya angin tercipta lebih tak beruntung dibanding aku sebagai manusia. Dia tak pernah mendapat balasan dari hal-hal yang pernah ia bantu atas jasa-jasanya sebagai sang pembawa hembusan yang bisa memindahkan benda kasatmata meski ia tak kasatmata.

        Baiklah, aku tak ingin menceritakan romantisnya angin, karena angin memang bukan levelku. Angin adalah teman air, api dan matahari, yang semuanya memiliki naluri cinta begitu hebat, tak pernah meminta balas budi atas jasa yang mereka berikan. Sedangkan aku hanyalah sesuatu yang lemah, keturunan dari sesuatu yang tercipta dari tanah, diberi akal memiliki nafsu, yang biasa disebut manusia, yang oleh angin dan teman-temannya terkadang dicap menjadi aib di keselarasan alam mereka.
        
        Awal cerita dimulai ketika aku berjalan sendirian di jalan setapak yang sepertinya sudah lama dilewati banyak orang. Di sisi-sisi jalan, terlihat hamparan rumput-rumput gulma (alang-alang) yang tingginya sepinggang, bahkan seleherku, bahkan melewati ubun-ubunku. Memandang ke garis horizon, hasilnya sama, dari kejauhan terlihat hanya rumput-rumput gulma berbukit-bukit. Sebagian rumput-rumput itu telah bersolek cantik dengan bunga-bunga mereka yang tak kalah sombong menjurai tinggi, hingga setinggi ubun-ubunku pula. Dan ini mencekam, kau tahu? Aku tak menemukan seorang manusia satu pun di tempat itu.

        Ya, meski malu, harus aku katakan, aku sedang berada di padang ilalang. Aku tak peduli, meski kau akan tahu alur ceritaku hingga tamatnya cerita ini karena telah aku beri tahu bahwa aku sedang berada di padang ilalang, aku tak peduli. Haha... Benar, ini memang kisah cinta. Padang-padang ilalang itu seperti di video-video klip lagu tentang cinta, atau seperti di film-film bertema cinta, persis pula seperti yang selalu disebutkan di novel-novel yang mengisahkan cinta. Tapi aku mohon, baca saja dulu cerpen murahanku ini. Karena kelak kau akan tahu bahwa, cinta itu memang inspirasi terbaik selain inspirasi teologis yang dipaparkan tuhan dalam firman-Nya.

        Aku sendiri tidak tahu pasti mengapa tiba-tiba aku bisa berada di tempat itu. Di petang hari, di saat seharusnya orang-orang ramai menuju ke surau-surau, atau minimal bersiap dengan kerapihan berbaju koko menyambut sujud pada Illahi, saat itu aku justru sedang dilumur ketakutan. Keresahan yang sangat dalam. Jika harus kukatakan dalam bahasa gaul, petang itu aku sedang 'galau tingkat dewa'

       Di padang ilalang itu aku terus berjalan ke arah terbenamnya matahari, ke arah barat yang terlihat langitnya makin menguning keemasan. Jujur, aku terlalu takut untuk berjalan ke arah timur, aku terlalu takut melihat makin mengabu-abunya langit di ufuk timur petang itu. Karena itulah, ke arah barat adalah hal rasional diantara ketidakrasionalan mengapa tiba-tiba aku harus berada petang hari di tengah-tengah jalan setapak panjang, di tengah padang ilalang ini. Ke arah barat itu berarti berjalan menuju cahaya, tentulah, tak ada cahaya yang tak bisa kalahkan gelap bukan? Aku selalu percaya, cahaya itu adalah kehidupan.

        Aku berharap, di ujung warna keemasan itu aku bisa menemukan seseorang untuk membantuku keluar dari (lagi-lagi kegilaan) ini. Firasatku selalu berkata bahwa ada seseorang di ujung jalan setapak ini, yang akan menolongku untuk bangun dari kebodohan-kebodohan. Dari ketololan-ketololan. Dari ego-ego, dan dari kemunafikan. Entahlah, benar atau tidak, dalam lelahnya perjalanan firasatku selalu bilang seperti itu. Firasat terkadang seolah 'keblinger' jika membisikanku dengan kata-kata yang tak pernah kumengerti. Tapi ketahuilah, meski seperti itu, terkadang bisikan firasatku tak pernah melesat. Yakinlah.

        Angin masih tetap setia membelaiku. Karena aku berjalan sudah cukup lama dan jauh, kali ini angin membelai keringat. Entahlah, angin seperti seorang perempuan yang begitu cinta kepadaku, yang mau mengusap keringat di dahiku dengan tissu saat aku kelelahan. "Terima kasih angin," ucapku mencoba mesra, meski aku tahu suaraku tak pernah semesra Ariel Peterpan (Noah) dalam film pornonya atau semesra Afgansyah Reza dalam video klip-nya yang menurut infotainment adalah laki-laki pujaan perempuan Indonesia. Terima kasih angin atas kesejukan-kesejukan yang kadangkala engkau berikan di tengah-tengah daya kejut sinar Helios (Sang Dewa Matahari) yang seolah memanggang kulit ini. Atas keteduhan-keteduhan yang kadangkala engkau berikan di tengah-tengah luapan emosi ambisi yang seolah menjahatkan diri ini.

        Perjalanan di tengah jalan setapak dan kesepian itu tetap aku lanjutkan. Meski sebetulnya di dalam pikiran gelombang pertanyaan muncul berkali-kali tentang mengapa aku harus ada di tempat ini? Aku selalu menuduh cinta, cinta lah yang harus bertanggung jawab mengembalikan aku ke dalam dunia kenyataan. Cinta lah yang membuat aku harus berjibaku dengan segala omong kosong ini. Tapi aku enggan membahas cinta saat aku sedang kelelahan. Atau saat aku sedang berada di titik yang jauh dari kata 'Rasional'. Aku benci.

        Lupakan tentang alibi cinta yang telah membawaku hingga ke tempat aneh ini. Kali ini aku merasa sangat dahaga. Tiba-tiba tenggorokan di leherku seperti menyampaikan kritik pedas kepadaku bahwa ia kekeringan di tubuh yang katanya 80% terbuat dari zat cair ini. Tapi aku mentahkan kritikan tenggorokanku itu, karena tidak mungkin bagiku yang seperti dikejar gelap dari arah timur harus sejenak berhenti memeras tetes demi tetes getah ilalang untuk dijadikan pelepas dahaga. Tak mungkin untuk berhenti karena waktu akan semakin gelap. Lagi pula aku tak tahu apakah tetesan getah-getah di batang ilalang itu beracun atau tidak untuk di teguk. Bagaimana kalo tetesan getah-getah di dalam batang ilalang itu beracun? Mati sudah aku...

        Tanpa menghiraukan keinginan tenggorokan yang kehausan, aku tetap berjalan menuju arah terbenamnya matahari. Aku berharap akan ada ujung di jalan setapak yang telah aku lalui berpuluh-puluh menit ini. Atau minimal ada seseorang yang mau memberi arahan harus berbuat apa aku supaya bisa kembali ke kenyataan. Ya benar, kenyataan. Aku yakin, saat ini aku bukan berada di titik kenyataan. Aku yakin, aku berada diantara batas pemikiran logis, yang bersebrangan langsung dengan irasional. Kata-kata "logikanya adalah..." benar-benar tak terpakai dijalan setapak ini. Mengkritisi dengan nalar perihal anehnya tempat ini pun tak akan berguna. Karena ini memang benar-benar mutlak, tak bisa di kritisi, tempat ini terlalu jauh untuk aku atau kau kritisi.

        Sudahlah, aku tak mau menjelaskan panjang lebar tentang padang ilalang ini. Biar saja kau menyebut tempat ini adalah halusinasi, fatamorgana atau mimpi. Yang jelas bagiku, tempat ini seperti sebuah sudut maya yang tercipta karena kreatifnya ide dan gagasan yang mendapat suplai tenaga dari sesuatu bernama cinta. Titik. 

        Lanjut, langkah demi langkah, aku memakan detik demi detik, menghabisinya hingga berpuluh-puluh menit kemudian tiba. Di timur, gelap tak kalah lahap memakan waktu, beremenit-menit kemudian langit yang sebelumnya berwarna abu-abu sudah mulai terlihat pucat padam meghitam. Pikirku mungkin sebentar lagi akan ada gema adzan maghrib berkumandang, tapi ah, kalau di hitung-hitung di petang itu aku sudah bepuluh-puluh menit berjalan kaki, tetap tak mendengar suara adzan sekalipun.

        Sebetulnya rasa pegal mulai menusuk-nusuk di betis yang tertutup celana jeans yang sudah 3 hari kupakai ini. Telapak kaki di dalam sepatu merasa tak nyaman, sepertinya ia butuh berendam sejenak di air hangat. Haha... tapi tentu itu makin tidak mungkin, untuk sekedar mereguk setetes getah alang-alang saja, aku tak mau berhenti sejenak, apalagi untuk merendamkan kaki. Sementara meski angin tetap romantis mengusap keringat di dahi, tapi tidak dengan badanku. Kaos oblong berwarna putih yang aku kenakan terlihat basah di bagian punggung, dua ketiak dan dada. Tentu itu basah oleh keringat yang mengalir. Aku tak tahu kenapa di jalan setapak itu aku berkeringat begitu banyak meski angin menghembus sangat sejuk dan kau tahu sendiri, itu petang hari yang tak sepanas siang hari. Di padang ilalang itu lelah seperti datang begitu cepat. Entahlah, apakah ini mungkin faktor gravitasi di padang ilalang ini yang bisa saja lebih tinggi dari gravitasi bumi sebesar 9,8 m/s2. Bisa saja aku berada di sebuah tempat yang memiliki percepatan gravitasi 2 kali lebih cepat, atau bahkan setara dengan percepatan gravitasi di Jupiter sebesar 24,8 m/s2, sehingga aku merasa cepat lelah membawa massa tubuhku yang seolah lebih berat. Entahlah.

        Aku berhenti sejenak, sangat sejenak. Tapi sekali lagi, tidak untuk memerah batang-batang ilalang. Sejenak aku berhenti untuk mengisi kantung di paru-paru yang seolah krisis oksigen. Jangan sampai paru-paru kekurangan oksigen sehingga ia gagal menyuplai material terbaik ke jantung untuk memompa darah, dan membiarkan nadi-nadi bekerja. Jangan sampai karena terlalu lelah berjalan aku kolaps, lalu mengalami koma, siapa yang akan membantuku jika sampai itu terjadi. Aku menghela nafas panjang dalam, beberapa kali aku ulangi untuk meyakinkan bahwa aku siap kembali melanjutkan perjalanan.

        Aku lanjutkan perjalanan. Tapi tiba-tiba dari kejauhan, ada yang aneh. Jalan setapak panjang ini berbelok ke kiri. Ya, jalan setapak ini tidak lagi lurus ke arah matahari terbenam, tapi berbelok ke selatan. Jalan setapak yang sudah berpuluh-puluh menit kulalui ini tak lagi ke arah berkumpulnya cahaya. Di sudut belokan jalan setapak tersebut aku berhenti. Aku pandang ke sekeliling arah, berharap mungkin saja ada persimpangan untukku pergi ke barat. Tapi ah, tak ada. Aku tak melihat bekas-bekas orang lewat sekalipun, tak ada jalan setapak lain. Yang ada hanya ilalang yang rimbun menutupi.

        "Sialan, kenapa harus ngidul, gak kebarat?" kali ini aku berujar sendiri, seperti di sinetron-sinetron yang hanya membahas soal materialisme Jakarta dan cinta. Tapi percayalah aku belum gila.

        Firasatku tetap berkata, bahwa aku harus ke barat, tidak boleh berbelok ke kiri, aku harus tetap ke arah cahaya. Tapi kau tahu? Untuk ke arah barat aku dihadang rimbunnya ilalang hingga ke batas horizon, begitu luas. Ketakutanku seolah bilang, jika aku memaksakan diri untuk menerobos hutan ilalang, bisa saja ada ular berbisa. Bisa saja ada binatang buas bersembunyi di sana yang bisa dengan sigap memangsa tubuh kurus ini. Bisa saja.

        Tapi hidup tentu harus punya pendirian bukan? Aku dihadapkan pada dua pilihan yang masing-masing isinya hanya 'kemungkinan'. Pertama, jika saja aku mengikuti keinginan firasat, menembus rimbunnya padang ilalang tanpa bantuan jalan setapak, mungkin bisa saja memang aku selamat, aku keluar dari petang aneh tersebut. Kedua, jika saja aku mengikuti arah jalan setapak, ke arah selatan, ke arah batas antara cahaya dan kegelapan, mungkin bisa juga aku diselamatkan sistem yang telah dibuat bertahun-tahun, turun-temurun lamanya karena aku patuh mengikuti rambu-rambu yang ada. Ah sudahlah, tak ada waktu memperdebatkan kegilaan ini.

        Akhirnya aku putuskan mengabaikan firasatku. Aku putuskan untuk tetap mengikuti jalan setapak ini. Nalarku bilang, jalan setapak ini adalah sistem yang telah diciptakan oleh sejarah, oleh goresan-goresan waktu lampau yang aku turut serta di dalamnya. Tentu logis jika aku tetap mengikuti jalan setapak ini. Meski harus diakui bahwa langit di sisi kiri, makin mendung, menghitam. Tak lama lagi mungkin langit menghitam itu akan tepat berada di atas ubun-ubunku. Tapi tak mengapa, pilihanku sudah bulat, aku tetap melanjutkan perjalanan mengikuti jalan setapak ini.

        Berpuluh-puluh langkah telah aku lalui ke arah baruku itu, ke selatan. Langit memang belum menghitam, tapi warna abu-abu sudah sejajar berada diatas kepalaku. Hingga kemudian mata menangkap sesuatu bergerak ke arahku dalam pandangan. "Itu manusia...?" tanyaku dalam kegelisahan.

        Kau tahu apa yang dilihat mataku? Benar, itu manusia. Akhirnya aku melihat manusia lain di padang ini. Akhirnya... "Terima kasih ya Alloh."

        Manusia itu berjalan semakin mendekatiku, aku pun tak kalah semangat mendekatinya. Semoga ia membawa kabar baik atau bisa aku tanyakan bagaimana kegilaan ini bisa segera berakhir. Ya Alloh, manusia itu ternyata berwujud perempuan. Ya! perempuan! Dia berkerudung, atau kerennya aku sebut berhijab. Subhanallah...

        Tapi, tidak...!


     
        Dia bukan manusia! Dia setengah dewi! Ya, setengah Mahadewi malah. Dia perempuan setengah Mahadewi, terlihat dari bias auranya terasa sangat menakjubkan menggoda mataku. Aku seperti akan menghadapi kabar yang sangat baik, seperti hilang ingatan-ingatan berita pilu dukacita saat itu. Dari kejauhan ia terlihat sangat anggun. Absolutely, sangat anggun dengan gamis berwarna putihnya itu lengkap dengan pernak-pernik ajaib yang membuat mataku terhipnotis habis-habisan oleh penampilannya. Entahlah, pernak-perniknya padahal sederhana tapi lebih hebat dari permata. Bagiku, gaya berpakaian ala artis Syahrini saat sedang insyaf pun kalah oleh aura perempuan setengah Mahadewi itu. Dan dia sepertinya membawa sesuatu. semacam periuk atau apalah. Sepertinya ia membawa air buatku. Alhamdulillah... semoga.

        Dia semakin mendekat. Aku berharap perempuan itu bukanlah intel Yahudi yang dikirim Mossad untuk mencuci habis segala pemikiran di otak, menjadikan aku sebagai militan Zionis. Aku juga berharap dia bukan malaikat, karena jika sampai itu terjadi, tentu aku tak bisa menyentuhnya karena aku cuma manusia biasa. Aku juga berharap, dia bukan idolaku, Dian Sastrowardoyo saat memerankan cinta di AADC, karena jika sampai itu terjadi, praktis aku hanya akan memimpikannya karena cuma tokoh fiksi. Tapi ini petang, bisa saja dia itu sanekala yang menurut orang tuaku adalah semacam bala yang datang pada saat petang tiba. Tapi jika dia memang benar sanekala, aku tak peduli. Tetap akan aku dekati, aku ingin tahu seberapa bahayanya dia.

Bersambung...

2 komentar:

  1. Bahasamu di postingan kadang puitis kadang enggak.. Agak kurang pas sih menurutku.. Harusnya konsisten. Puitis ya puitis semua aja.. hahaha..

    BalasHapus
  2. Hahaha, ya namanya juga masih amatir gan. Belum bisa konsisten. Jangankan memikirkan gaya bahasa harus puitis atau tidak, mau nulis tentang hal-hal absurd lainnya perasaan susah banget dapet idenya.. :D thanks udah berkunjung...

    BalasHapus

Kalau mau komen silahkan komen. Siapa aja boleh komen, apa aja asal tidak menghina SARA. Woles men...