(Sumber foto: Dokumentasi pribadi) |
Pikirku, embik akan melahirkan adik baru. Dan adik baru itu akan berkumpul, bermain bersama tiga adikku yang lain yang masih kecil-kecil. Adik terkecil namanya si Ujen, usianya sekitar dua tahun. Di atasnya si Ujen ada si Ahmad, berusia sekitar tiga tahun. Dan di atasnya si Ahmad ada si Iday, adik perempuan berusia enam tahun yang sering membantu aku mencuci baju. Sebetulnya si Iday punya kakak laki-laki, hanya saja sudah meninggal sejak usia tiga tahun karena suatu penyakit.
Aku sendiri berusia sepuluh tahun. Sudah cukup dewasa buat mengasuh adik yang kecil-kecil. Namaku Entin. Aku adalah anak kelima, meski kakak yang aku kenal saat ini cuma tiga yaitu Ending, Emun dan Adung. Kata embik, di atasku ada seorang kakak yang meninggal sejak bayi.
Baru saja berpikir mengenai kebahagian punya adik baru, berselang lima menit kemudian Abah datang. Tentu saja membonceng embik dan kak Ending di belakang. Di kejauhan, embik terlihat tertidur. Sedang raut wajah kakak terlihat murung.
“Embik sudah tiada Entin,” abah memberi kabar sesaat setelah tiba.
Mendengar kabar pilu tersebut, mata ini menangis sejadi-jadinya. Lemas. Yang Kuasa seolah tidak adil. Sudah tiap hari kami hidup miskin, tidak pernah pakai sendal, makan tiga kali sehari kalau sehabis panen saja, kini Dia ambil juga orang yang paling bisa membuatku merasa kaya dan bahagia. Dada ini menjadi sesak. Juga jantung yang berdetak semakin cepat. Mungkin hatiku sudah pecah berkeping-keping. Kepingannya serasa menusuk-nusuk di dada.
Embik yang tiap hari mengurus aku dan adik-adik kini harus hilang selamanya. Tidak ada lagi yang menasihati aku agar menjadi seorang gadis perempuan sejati. Tidak ada lagi yang menengahkan Iday, Ahmad dan Ujen saat rebutan lauk ketika makan. Tidak ada lagi yang menghentikan tangis Ahmad dan Ujen saat merengek-rengek manja.
Selamat jalan embik. Hari itu juga embik dimakamkan bersama bayi yang masih ada di perutnya. Aku dan Iday diberi izin untuk ikut mengantar embik ke liang lahat. Sebagai perempuan kecil, kami hanya bisa menangis di tepi kuburnya. Meski banyak simpati dan ucap belas kasih datang, tetap saja tidak bisa menggantikan bayang wajah embik di dalam ingatan.
Sedang Ahmad dan Ujen, karena usianya masih terlalu kecil untuk menghadapi kenyataan ini, mereka dibohongi bahwa Embik sedang tertidur. Keesokan harinya mereka pun selalu dibohongi bahwa embik sedang pergi ke sawah di seberang pemakaman. Seterusnya berbohong seperti itu sampai mereka lupa.
Karena selalu dibohongi, setiap sore tiba, selama tiga bulan lamanya, Ahmad dan Ujen selalu pergi ke tepian sawah dekat pemakaman. Menjerit memanggil-manggil embik sambil menangis merengek-rengek. Berharap embik akan kembali datang dari kejauhan. Tersenyum melambai dari sawah-sawahnya yang menghampar hijau. Memberi mereka pelukan hangat dan kecup mesra penuh doa mujarab seorang ibu.
“Embik... Balik atuh embik...!” teriak mereka seperti tanpa putus asa.
“Embik mah sudah dikubur di sana,” terkadang kepolosan Iday menyahut. Membuat mereka berdua makin terisak.
Aku, kakak-kakak, abah, uwak, dan para tetangga hanya bisa meneteskan air mata melihat tingkah mereka. Sebagai seorang kakak, aku harus bisa menggantikan embik meski tidak ada seujung kukunya pun. Aku harus bisa menjaga mereka. Mengasuh mereka. Menasihati mereka. Mengurus mereka. Menghibur mereka. Dan melihat mereka tumbuh dewasa.
Meski embik tiada, hidup ini harus tetap berjalan.
---
Curug, Tangerang, sekitar tahun 1976.
Embik adalah sebutan untuk ibu yang biasa dituturkan oleh orang Sunda di Tangerang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kalau mau komen silahkan komen. Siapa aja boleh komen, apa aja asal tidak menghina SARA. Woles men...