Assalamualaikum, wr, wb.
Sekarang sabtu 19 desember 2015, sudah lima hari terakhir
ini rasa malas begitu memuncah. Entahlah, mungkin faktor cuaca yang membuat
matahari seperti malu-malu kucing untuk hadir di kehidupan. Atau justru hujan
yang sedang jinak-jinak merpati sejak tiga hari terakhir ini untuk
diperjuangkan? hihihihi... entahlah.
Hari ini berarti tiga bulan sudah pula batas tenggat waktu
sebuah buku yang berjudul ‘Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik 1897 – 1925’ karya Harry A. Poeze yang saya pinjam dari Perpustakaan Daerah Kabupaten
Tangerang terlewat. Buku tersebut belum saya kembalikan (Ohmaygat gung, balikin
lah tuh buku, itu buku punya masyarakat karena dibeli pake uang masyarakat).
Buku ini pernah dilarang oleh Kejakasaan Agung di zaman orde baru. |
Alasan pertama saya
(halah alesan mulu lu!) belum mengembalikan buku itu pertama karena waktu
meminjam yang hanya seminggu. Waktu tersebut saya rasa amat kurang untuk
sebuah buku setebal empat ratus halaman. Maklum lah saya ini bukan kutu buku,
jadi kecepatan baca saya tak secepat para kutu buku. Saya harus
mengulang-ngulang sampai dua atau tiga kali pada tiap bab agar mengerti. Ya
minimal biar agak nyangkut dikit lah di otak.
Buku ini menceritakan seluk-beluk seorang tokoh kiri yang
paling keren yang pernah lahir di Indonesia, yaitu Tan Malaka pada tahun
kibenen 1897 – 1925. Dalam bukunya, sang penulis Harry A. Poeze (yang jelas
bukan orang kampung Bojongkenyot) banyak mengutip pemikiran, pidato, dan
surat-surat Tan Malaka tentang komunisme dan revolusi yang masih belum saya pahami
sepenuhnya sehingga saya harus mengulang-ulang membacanya. Karena waktu yang
singkat itu, terus IQ yang pas-pasan, ditambah kesibukan saya sebagai tokoh paling
berpengaruh di dunia khayal membuat saya akhirnya menunda-nunda waktu untuk
mengembalikannya.
Sedangkan alasan
kedua saya belum mengembalikan buku ini adalah faktor tidak jauh-jauh
amatnya jarak dari rumah ke
perpustakaan daerah Kabupaten Tangerang yang terletak di ibukota Kabupaten,
Tigaraksa. Dari kampung Peusar kelurahan Binong kecamatan Curug menuju ibukota
Tigaraksa kalau menggunakan sepeda motor dengan kecepatan penuh versi saya
(dibaca; 40-60km/jam) membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam yang
menyebabkan saya merasa males beud buat meluncur.
Terus untuk alasan ketiga sepertinya gak ada deh, karena
saya udah bingung bikin alesan yang mengada-ngada lagi untuk tidak
mengembalikan buku ini. Hehehe.... Pastinya nanti akan saya kembalikan, meski
mungkin uang dendanya akan setara dengan harga buku ini.
Cap stempel tanggal pengembalian buku. |
Mengapa harus saya kembalikan?
Karena di Perpustakaan Daerah Kabupaten Tangerang ada KTP
(Kartu Tanda Penduduk Planet Mars) dan kartu anggota perpustakaan saya.
Kalau kartu anggota perpus itu tidak terlalu penting lah, karena internet
sekarang sudah sama luasnya dalam memetakan wawasan (sombong bener lu gung).
Yang penting itu adalah KTP saya meski pun belum berbentuk e-KTP tapi baru akan
berakhir masa pakainya pada 28 Oktober 2016.
Sebetulnya bisa aja sih saya bikin KTP elektronik, tapi ah
kelakuan para PNS di dinas yang ngurusin KTP di kabupaten saya itu masih pada
brengsek, jadi bikin males. Bayangkan, jika melalui jalur normal (tanpa uang)
membutuhkan waktu sekitar 1-2 bulan karena alasan blankonya habis dan banyaknya
orang yang bikin e-KTP (Iya lah gung, emang lu doang yang bikin KTP, orang Tangerang
jutaan keleus). Sedangkan kalau mau ekspres, 2-3 hari jadi, kita harus bersedia
merogoh kocek 100-200 ribu rupiah sebagai uang NOS (Nitros Oxyde
System) bagi para PNS di dinas yang
ngurusin KTP supaya mobil kinerja mereka bisa secepat kilat. Semoga
Alloh SWT memberi hidayah kepada para PNS yang masih bermental pengemis itu.
Amiinn... (Ah pelit banget sih lu gung tiban ngasih duit 100-200 rebu aja
sampai ngomongin PNS).
Kembali ke soal bukunya. Pertama yang jelas bukunya masih
dalam kondisi baik saudara-saudara, tidak saya sobek-sobek apalagi saya bakar
karena ketakutan terhadap bahaya laten komunis yang digaung-gaungkan semenjak
pemerintahan orde baru yang lebih condong kepada kapitalisme.
Kedua, buku ini menceritakan tentang seorang tokoh
revolusioner, Tan Malaka, seorang anak desa dari Sumatera Barat yang punya
pemikiran WOW, yang begitu peduli pada perjuangan kelas buruh dan petani. Saya setuju, beliau adalah salah satu tokoh dari Indonesia yang
memiliki pemikiran terhebat sepanjang masa dan memiliki andil besar dalam
kemerdekaan Indonesia. Perjuangannya sendiri tidak hanya diakui ditingkat nasional,
tapi juga internasional. Bayangkan coy, di usia yang masih sangat muda, Tan
Malaka sudah melanglang buana dari Belanda ke Uni Soviet sampai ke Tiongkok
karena idealismenya demi melawan ketidakadilan dan penindasan kaum imperialis.
Ketiga, alasan saya sendiri meminjam buku ini mungkin cuma
karena terbawa arus kekiri-kirian yang menurut saya keren di tengah makin
rakusnya orang-orang kuat dan kaya dalam menjajah orang-orang lemah dan miskin
saat ini, eeaaakkk.... Yang jelas saya masih ingin baca jilid kedua dari buku
ini yang menceritakan Tan Malaka pada tahun 1925 – 1945.
Saat itu sebetulnya masih ada dua buku lagi yang ingin saya
pinjam, yaitu tentang biografi mantan Bupati Kabupaten Tangerang yang paling
kesohor, Haji Ismet Iskandar dan tentunya sejarah tentang Tangerang. Tapi
karena hanya boleh bawa satu saja, ya sudahlah, bisikan arwah Lenin, Mao, ditambah Trotsky sepertinya lebih kuat menggoda saya untuk memilih buku yang
sampulnya berwarna merah tersebut ketimbang bisikan arwah para penulis yang
menulis tentang pencitraan seorang tokoh.
Terakhir keempat, demikianlah tulisan saya yang lagi-lagi
gajebo dan sotoy ini. Hehehe... Piss...
Wassalamualaikum, wr, wb.
Tangerang, 19 Desember 2015
Mohon maaf buat Perpustakaan Daerah Kabupaten Tangerang,
koleksi bukunya belum saya kembalikan. Gak apa-apa ya, kalau gak salah masih
ada dua buku kok berjudul sama di sana. Nanti pasti saya kembalikan. Hehehe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kalau mau komen silahkan komen. Siapa aja boleh komen, apa aja asal tidak menghina SARA. Woles men...