"Kita sudah cukup begini, kita hanya punya nama baik, itu saja yang harus kita jaga terus." (Muhammad Hatta)

Jumat Sore Menuju Petang

Minggu, 05 April 2015

Jumat sore menuju petang,
Di hari yang kata agamaku adalah Jumat Berkah,
Cerah tanpa mendung yang membuat langit gelap lebih awal.

Jumat sore menuju petang,
Di hari yang bagi umat Kristiani adalah Jumat Agung,
Matahari seperti tak takut meski akan tenggelam.

Sedang angin mengusap lembut,
Berpesan agar aku tetap tenang,
Meski diserang rindu yang merdu,
Menyebar ke semua urat saraf, sendi, daging, dan tulang-tulang.

Maaf jika sajakku masih saja terangkai lewat metafora murahan,
Seputar mendung, angin, dan matahari,
Berbaris tanpa rima dan aturan.

Sajak ini cuma ingin mengabarkan,
Tentang doa sederhana yang terkabul.

Aku memang bukan anak soleh,
Atau seorang yang taat iman,
Tapi aku yakin,
Langit tak pernah memilih-milih doa,
Salah satu doaku telah terkabul,
Di sore itu,
Jumat sore menuju petang.

Doaku memang tak pernah wah, wow, apalagi menakjubkan,
Doaku sederhana,
Aku cuma ingin bertemu,
Kepada gadis yang selalu kusebut dalam khayalan, impian, doa dan harapan,
Seorang gadis teristimewa,
Dalam hati yang ditakdirkan,
Untuk lahir bersama jiwa lelaki yang bodoh ini.

Tanpa bantuan langit yang kuminta lewat doa,
Aku cuma lelaki pengecut,
Tak pernah tahu bagaimana seharusnya menghargai gadis teristimewa.

Bantuan langit yang kuminta lewat doa,
Mengirimi kabar meski lewat twitter,
Tentang lemah tak berdayanya sang gadis teristimewa.

Gadis teristimewa itu sedang sakit.

Saat tahu itu aku cuma ingin menghiburnya,
Ingin memanjanya,
Ingin menjaganya,
Ingin menatapnya sampai mata ini lelah.

Bantuan langit yang kuminta lewat doa,
Mengirimi pesan lewat bisikan,
Tentang membuang semua keinginan yang menimbulkan cemas.

Aku harus mendatanginya!
Duduk disampingnya,
Meski cuma sebagai lelaki pengecut yang berpura-pura berani.

Bantuan langit yang kuminta lewat doa,
Memberiku penangguhan,
Sebagai pengecut kusut yang lemah,
Aku dipinjami keberanian.

Jumat sore menuju petang,
Tak lagi kupedulikan,
Meski pergi seorang diri,
Jalanan berlubang mengancam laju mesin motor yang kencang,
Riuh macet jalan karena tanah kelahiran telah menjadi korban tak meratanya pembangunan,
Atau semrawutnya pengguna jalan yang kuancam dengan klakson dan tabrakan,
Tak lagi kupedulikan.

Pikiran berkata,
Aku harus duduk disampingnya,
Atau sia-sia,
Sebagai lelaki yang telah dipinjami keberanian.

Keberanian telah menolongku,
Ruang Anggrek kamar nomor tujuh di sebuah Rumah Sakit,
Tiba dengan kerinduan yang ingin segera kutebus,
Tak peduli lelah,
Atau gadis teristimewa itu mungkin akan marah,
Karena aku datang tanpa seizinnya.

“Assalamualaikum...”
Biar saja salamku menjadi hal ganjil,
Dalam kemesraan di kamar nomor tujuh itu,
Yang penuh oleh keluarga dan kerabat sang gadis teristimewa.

Aku menatapnya dari arah pintu kamar,
Gadis teristimewa itu sedang terbujur lemah karena sakitnya.

Mungkin aku telah menjadi lelaki yang paling tega di dunia,
Paling kejam,
Paling jahat,
Dan paling dibenci.

Saat lemah tak berdaya dialami sang gadis teristimewa,
Aku lancang melepas rindu yang telah menjadi sakit sekian lama,
Menyebar ke semua urat saraf, sendi, daging, dan tulang-tulang.

Kedua matanya yang bening menunjukan kepolosan,
Berpesan agar jangan pernah menyakiti perempuan.

Sudut matanya seperti menyudutkan,
Memaksaku agar jangan menjadi pengecut memperjuangkan cinta.

Pipi dan hidungnya masih saja membuat hati tak berdaya,
Gadis itu masih terlihat sangat jelita,
Seperti pertama kali aku berjumpa,
Tiga tahun lalu,
Duhai gadis teristimewa.

Aku  telah berdosa,
Telah melihatnya tanpa kerudung,
Telah melihat yang bukan hak,
Tapi tak apalah biar kutanggung dosa itu.

Lalu aku dibuat semakin tak berdaya lagi,
Oleh senyumnya,
Hilang semua ketakutan,
Dan kesedihan,
Juga ingatan kepada perempuan lain,
Yang pernah meninggalkan hati ini dengan harapan palsunya.
Hahaha...

Semoga di luar sana tak banyak lelaki bodoh,
Yang telah menjadi pengecut,
Karena senyumnya lebih kejam dari tangan besi para diktator.

Semoga di luar sana tak banyak lelaki terkutuk,
Yang telah menjadi penjahat,
Karena senyumnya yang menyejukan cuma dijadikan mainan.

Aku duduk disampingnya,
Sejenak menatapnya,
Biar rindu ini habis sepenuhnya,
Meski  tahu bahwa rindu ini tak akan pernah habis,
Rindu ini seperti siksa neraka,
Habis siksaan maka utuh lagi lalu siksaan lagi.

“Hai...”
Aku memang lelaki bodoh yang tolol,
Tak banyak berkata-kata,
Harusnya kuhibur dia habis-habisan,
Dengan lelucon-lelucon yang menggembirakan.

“Kamu sakit apa...?”
Harusnya kusayangi dia habis-habisan,
Dengan kata-kata mesra yang membahagiakan.

“Demam berdarah? Sekarang memang musimnya ya...?”
Harusnya kusemangati dia habis-habisan,
Dengan kalimat-kalimat motivasi milik para motivator tenar.

Ah sialan,
Aku memang bodoh dan tolol,
Mempresentasikan bahwa diri ini mungkin pantas untuknya saja tak mampu.

Doaku sepertinya kurang,
Aku cuma berdoa ingin menemuinya,
Tak pernah berdoa bagaimana harus menghargainya,
Tak pernah.

Setengah jam berlalu,
Aku terkejut dari lamunan,
Ketika sang gadis teristimewa memanggil,
“Bang ke mesjid dulu, maghrib dulu...”

Sebagai balasan dariku,
Karena gadis itu tak marah atas kedatanganku,
Dalam sujud maghrib,
Dan doa-doa setelah salam,
Kutujukan untuk kesembuhan sang gadis teristimewa,
Kutujukan untuk kebahagiaan sang gadis teristimewa,
Kutujukan untuk keberkahan sang gadis teristimewa.

Entahlah,
Aku tak pernah tahu doa itu terkabul atau tidak,
Doa itu ikhlas atau tidak,
Setahuku,
Aku bersungguh-sungguh dalam berdoa,
Meski sungguh-sungguh itu timbul karena alasan cinta,
Bukan karena alasan untuk taat kepada-Nya.

Aku belum mampu mencintai gadis teristimewa karena-Nya.

Aku kembali menatapnya,
Sebelum putuskan untuk pergi,
Mengunjunginya sebagai bukan siapa-siapa.

Semoga cairan infus tak menertawaiku,
Atau selang infus tak menghinaku,
Juga kasur-kasur di kamar nomor tujuh,
Dan segala jenis obat tak memojokanku,
Karena telah datang sebagai ORANG BODOH YANG TAK JELAS.

“Cepet sembuh ya...”
Cuma itu yang kukatakan.

“Terima kasih ya bang...”
Kata-kata lembutnya kudengar,
Tak berdaya hati ini mendengarnya.

Aku ingin lebih lama di dekatnya,
Menjaganya hingga tertidur,
Tapi apa daya,
Aku bukan siapa-siapa.

Sang gadis teristimewa bukan milikku,
Mungkin hatinya telah dimiliki oleh lelaki lain,
Yang sejati dan pemberani,
Ah biar saja.

Tapi yang pasti,
Sang gadis teristimewa masih milik ibu-ayahnya di dunia,
Sang gadis teristimewa milik-Nya di semesta,
Sama sepertiku,
Manusia milik-Nya di semesta.

Semoga langit mengabulkan doa sederhanaku yang lain,
Untuk lebih dulu mengatakan kepadanya,
Tentang kesiapan menjadi pendamping seumur hidup untuknya,
Sebelum lelaki lain yang lebih pantas mengatakannya juga,
Amiin...

Kini kutambahkan dalam doa,
Agar aku bisa menghargainya sebagai perempuan.

Maafkan aku Ya Alloh,
Ya Tuhanku,
Jika terlalu banyak meminta dan berdoa.

Aku tinggalkan jumat sore menuju petang,
Tibalah di malam yang indah,
Dengan rindu yang kadarnya telah berkurang.

Selain emak dan abah,
Sang gadis teristimewa telah menjadi motivator terhebat dalam hidup,
Senyumnya telah menyadarkan,
Agar aku tak menyia-nyiakan hidup,

Aku harus selalu berjuang untuk hidup,
Meski mungkin tak akan berjuang bersamanya,
Meski mungkin tak bisa mengorbankan hidup untuknya.


------------------------------
Tangerang, 03 April 2015.
Terima kasih hai Nabilah Muthi Karima,
Terima kasih karena tak marah atas kedatanganku yang tanpa seizinmu,
Cepet sembuh ya... :) :) :) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalau mau komen silahkan komen. Siapa aja boleh komen, apa aja asal tidak menghina SARA. Woles men...