Jumat sore
menuju petang,
Di hari yang
kata agamaku adalah Jumat Berkah,
Cerah tanpa
mendung yang membuat langit gelap lebih awal.
Jumat sore
menuju petang,
Di hari yang
bagi umat Kristiani adalah Jumat Agung,
Matahari
seperti tak takut meski akan tenggelam.
Sedang angin
mengusap lembut,
Berpesan
agar aku tetap tenang,
Meski diserang
rindu yang merdu,
Menyebar ke
semua urat saraf, sendi, daging, dan tulang-tulang.
Maaf jika
sajakku masih saja terangkai lewat metafora murahan,
Seputar
mendung, angin, dan matahari,
Berbaris
tanpa rima dan aturan.
Sajak ini
cuma ingin mengabarkan,
Tentang doa
sederhana yang terkabul.
Aku memang
bukan anak soleh,
Atau seorang
yang taat iman,
Tapi aku
yakin,
Langit tak
pernah memilih-milih doa,
Salah satu
doaku telah terkabul,
Di sore itu,
Jumat sore
menuju petang.
Doaku memang
tak pernah wah, wow, apalagi menakjubkan,
Doaku
sederhana,
Aku cuma
ingin bertemu,
Kepada gadis
yang selalu kusebut dalam khayalan, impian, doa dan harapan,
Seorang
gadis teristimewa,
Dalam hati
yang ditakdirkan,
Untuk lahir
bersama jiwa lelaki yang bodoh ini.
Tanpa
bantuan langit yang kuminta lewat doa,
Aku cuma
lelaki pengecut,
Tak pernah
tahu bagaimana seharusnya menghargai gadis teristimewa.
Bantuan
langit yang kuminta lewat doa,
Mengirimi kabar meski lewat twitter,
Tentang
lemah tak berdayanya sang gadis teristimewa.
Gadis teristimewa
itu sedang sakit.
Saat tahu itu
aku cuma ingin menghiburnya,
Ingin
memanjanya,
Ingin
menjaganya,
Ingin
menatapnya sampai mata ini lelah.
Bantuan
langit yang kuminta lewat doa,
Mengirimi pesan lewat bisikan,
Tentang membuang
semua keinginan yang menimbulkan cemas.
Aku harus
mendatanginya!
Duduk
disampingnya,
Meski cuma
sebagai lelaki pengecut yang berpura-pura berani.
Bantuan
langit yang kuminta lewat doa,
Memberiku
penangguhan,
Sebagai
pengecut kusut yang lemah,
Aku
dipinjami keberanian.
Jumat sore
menuju petang,
Tak lagi
kupedulikan,
Meski pergi
seorang diri,
Jalanan
berlubang mengancam laju mesin motor yang kencang,
Riuh macet
jalan karena tanah kelahiran telah menjadi korban tak meratanya pembangunan,
Atau
semrawutnya pengguna jalan yang kuancam dengan klakson dan tabrakan,
Tak lagi
kupedulikan.
Pikiran
berkata,
Aku harus
duduk disampingnya,
Atau sia-sia,
Sebagai
lelaki yang telah dipinjami keberanian.
Keberanian
telah menolongku,
Ruang Anggrek
kamar nomor tujuh di sebuah Rumah Sakit,
Tiba dengan kerinduan
yang ingin segera kutebus,
Tak peduli
lelah,
Atau gadis
teristimewa itu mungkin akan marah,
Karena aku
datang tanpa seizinnya.
“Assalamualaikum...”
Biar saja salamku
menjadi hal ganjil,
Dalam
kemesraan di kamar nomor tujuh itu,
Yang penuh
oleh keluarga dan kerabat sang gadis teristimewa.
Aku menatapnya
dari arah pintu kamar,
Gadis
teristimewa itu sedang terbujur lemah karena sakitnya.
Mungkin aku
telah menjadi lelaki yang paling tega di dunia,
Paling
kejam,
Paling
jahat,
Dan paling
dibenci.
Saat lemah
tak berdaya dialami sang gadis teristimewa,
Aku lancang
melepas rindu yang telah menjadi sakit sekian lama,
Menyebar ke
semua urat saraf, sendi, daging, dan tulang-tulang.
Kedua matanya
yang bening menunjukan kepolosan,
Berpesan
agar jangan pernah menyakiti perempuan.
Sudut
matanya seperti menyudutkan,
Memaksaku
agar jangan menjadi pengecut memperjuangkan cinta.
Pipi dan hidungnya
masih saja membuat hati tak berdaya,
Gadis itu
masih terlihat sangat jelita,
Seperti
pertama kali aku berjumpa,
Tiga tahun
lalu,
Duhai gadis
teristimewa.
Aku telah berdosa,
Telah
melihatnya tanpa kerudung,
Telah
melihat yang bukan hak,
Tapi tak apalah
biar kutanggung dosa itu.
Lalu aku
dibuat semakin tak berdaya lagi,
Oleh
senyumnya,
Hilang semua
ketakutan,
Dan
kesedihan,
Juga ingatan
kepada perempuan lain,
Yang pernah
meninggalkan hati ini dengan harapan palsunya.
Hahaha...
Semoga di
luar sana tak banyak lelaki bodoh,
Yang telah
menjadi pengecut,
Karena
senyumnya lebih kejam dari tangan besi para diktator.
Semoga di
luar sana tak banyak lelaki terkutuk,
Yang telah
menjadi penjahat,
Karena
senyumnya yang menyejukan cuma dijadikan mainan.
Aku duduk
disampingnya,
Sejenak
menatapnya,
Biar rindu
ini habis sepenuhnya,
Meski tahu bahwa rindu ini tak akan pernah habis,
Rindu ini
seperti siksa neraka,
Habis
siksaan maka utuh lagi lalu siksaan lagi.
“Hai...”
Aku memang
lelaki bodoh yang tolol,
Tak banyak
berkata-kata,
Harusnya
kuhibur dia habis-habisan,
Dengan
lelucon-lelucon yang menggembirakan.
“Kamu sakit
apa...?”
Harusnya kusayangi
dia habis-habisan,
Dengan
kata-kata mesra yang membahagiakan.
“Demam
berdarah? Sekarang memang musimnya ya...?”
Harusnya
kusemangati dia habis-habisan,
Dengan
kalimat-kalimat motivasi milik para motivator tenar.
Ah sialan,
Aku memang
bodoh dan tolol,
Mempresentasikan
bahwa diri ini mungkin pantas untuknya saja tak mampu.
Doaku
sepertinya kurang,
Aku cuma
berdoa ingin menemuinya,
Tak pernah
berdoa bagaimana harus menghargainya,
Tak pernah.
Setengah jam
berlalu,
Aku terkejut
dari lamunan,
Ketika sang
gadis teristimewa memanggil,
“Bang ke
mesjid dulu, maghrib dulu...”
Sebagai
balasan dariku,
Karena gadis
itu tak marah atas kedatanganku,
Dalam sujud
maghrib,
Dan doa-doa
setelah salam,
Kutujukan
untuk kesembuhan sang gadis teristimewa,
Kutujukan
untuk kebahagiaan sang gadis teristimewa,
Kutujukan
untuk keberkahan sang gadis teristimewa.
Entahlah,
Aku tak
pernah tahu doa itu terkabul atau tidak,
Doa itu ikhlas
atau tidak,
Setahuku,
Aku
bersungguh-sungguh dalam berdoa,
Meski
sungguh-sungguh itu timbul karena alasan cinta,
Bukan karena
alasan untuk taat kepada-Nya.
Aku belum
mampu mencintai gadis teristimewa karena-Nya.
Aku kembali
menatapnya,
Sebelum putuskan
untuk pergi,
Mengunjunginya
sebagai bukan siapa-siapa.
Semoga cairan
infus tak menertawaiku,
Atau selang
infus tak menghinaku,
Juga
kasur-kasur di kamar nomor tujuh,
Dan segala
jenis obat tak memojokanku,
Karena telah
datang sebagai ORANG BODOH YANG TAK JELAS.
“Cepet
sembuh ya...”
Cuma itu
yang kukatakan.
“Terima
kasih ya bang...”
Kata-kata
lembutnya kudengar,
Tak berdaya
hati ini mendengarnya.
Aku ingin
lebih lama di dekatnya,
Menjaganya
hingga tertidur,
Tapi apa
daya,
Aku bukan
siapa-siapa.
Sang gadis
teristimewa bukan milikku,
Mungkin
hatinya telah dimiliki oleh lelaki lain,
Yang sejati dan pemberani,
Yang sejati dan pemberani,
Ah biar
saja.
Tapi yang
pasti,
Sang gadis
teristimewa masih milik ibu-ayahnya di dunia,
Sang gadis
teristimewa milik-Nya di semesta,
Sama sepertiku,
Manusia
milik-Nya di semesta.
Semoga
langit mengabulkan doa sederhanaku yang lain,
Untuk lebih
dulu mengatakan kepadanya,
Tentang kesiapan
menjadi pendamping seumur hidup untuknya,
Sebelum
lelaki lain yang lebih pantas mengatakannya juga,
Amiin...
Kini
kutambahkan dalam doa,
Agar aku
bisa menghargainya sebagai perempuan.
Maafkan aku
Ya Alloh,
Ya Tuhanku,
Jika terlalu
banyak meminta dan berdoa.
Aku tinggalkan
jumat sore menuju petang,
Tibalah di
malam yang indah,
Dengan rindu
yang kadarnya telah berkurang.
Selain emak
dan abah,
Sang gadis
teristimewa telah menjadi motivator terhebat dalam hidup,
Senyumnya
telah menyadarkan,
Agar aku tak
menyia-nyiakan hidup,
Aku harus
selalu berjuang untuk hidup,
Meski
mungkin tak akan berjuang bersamanya,
Meski
mungkin tak bisa mengorbankan hidup untuknya.
Tangerang,
03 April 2015.
Terima kasih
hai Nabilah Muthi Karima,
Terima kasih
karena tak marah atas kedatanganku yang tanpa seizinmu,
Cepet sembuh
ya... :) :) :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kalau mau komen silahkan komen. Siapa aja boleh komen, apa aja asal tidak menghina SARA. Woles men...