Sebut saja namanya Atun. Hanya Atun, itu saja, tak punya
nama belakang apalagi gelar bangsawan. Jauh sebelum Atun pergi ke Malaysia, ibu
muda yang hanya lulus SD ini sebenarnya sudah lama malang-melintang menjadi
pembantu kesana-kemari. Dia adalah spesialis di bidang yang bagi sebagian orang
di anggap sebelah mata. Ibarat kuliah, sudah seharusnya ia mendapat gelar
Master untuk profesinya.
Sebenarnya Atun lebih senang bekerja di rumah para juragan
di kota asalnya di Cirebon. Atun ingat betul saat pertama kali ia diterima bekerja
sebagai pembantu di salah satu juragan ikan di sana. Delapan Tahun ia bekerja,
ia selalu senang, tak pernah marah atau bahkan mengeluh dengan satu kata
‘haduh’ meski upah yang dia terima hanya sepertiga dari upah yang ia terima di
Malaysia. Di sana pula Atun bertemu Pendi, yang akhirnya meminang Atun hingga ia dikaruniai tiga orang putri. Tapi
apa daya, krisis 98 membuat sang juragan gulung tikar dan bangkrut, sampai akhirnya terpaksa mem-PHK Atun yang merupakan salah satu dari tiga orang
pembantu yang dimiliki sang juragan.
Selepas krisis hanya tinggal Pendi sang suami tercinta yang
menjadi harapan bagi Atun dan keluarganya di Desa. Tapi cerita hidup berbeda
saat ekonomi mulai menggeliat kembali di awal tahun 2000. Saat itu Pendi
memutuskan untuk merantau ke Kalimantan menjadi buruh kasar di salah satu
perusahaan kayu di sana. “Kenapa kamu harus pergi mas?” tanya Atun lirih.
“Kata pak Karto gaji disana besar ketimbang aku jadi kuli di
sawah orang Tun,” jawab Pendi, terlihat penuh harap di raut wajahnya. “Kalo aku
kerja di sana, rumah ini nanti akan kusambungin listrik, kamu akan aku belikan
TV nanti,” sambung Pendi, semakin jauh meninggalkan rasa lelah atas ingatannya
sebagai buruh tani.
Keesokaannya Atun pun melepas kepergian Pendi. Bersama tiga
anaknya yang masih kecil-kecil Pendi mengucapkan kalimat perpisahan terakhir.
“Tun jaga anakku ya, Nanti kalo aku dapat gaji, kamu beliin si Mimin susu,
jangan kasih dia air gula lagi ya,” ujar Pendi, mencium kening putri bungsunya
yang kala itu baru berusia dua tahun.
Siang gagah berganti malam yang lembut nan aduhai. Bergantian
seperti sebuah sistem yang tak pernah mati, menjadi bukti bahwa waktu berpijak
melangkah menjauh dari detik yang sepertinya baru kemarin.
Tercatat hingga tujuh bulan pertama Pendi masih rajin
mengirimi Atun uang yang cukup melalui wesel pos. Tapi kemudian di bulan ke delapan
ada kabar duka menghinggapi Atun. “Tun, suamimu tun,” ucap pak Karto, sang
mandor bagi suaminya.
“Ada apa dengan mas Pendi pak?” tanya Atun gelisah.
“Ini ada amplop yang isinya uang dari Pendi buat kamu. Dan
satu amplop ini adalah uang dari perusahaan buat kamu juga,” tutur pak Karto
membuat Atun semakin gelisah. “Pendi. Pendi sudah ndak ada tun. Dia kecelakaan
sewaktu menebang kayu.”
Mendengar kabar itu Atun seperti kehilangan arah. Atun
seperti jatuh dalam bayang-bayang ketidakmungkinan. Seperti ditelantarkan dalam
keramaian, hati Atun marah dan geram tak menentu. Lantas, Atun hanya bisa
menangis. Menangis lirih. Tangisan diamnya membuat laju angin seperti hilang.
Atun kini di hadapi bayang-bayang membesarkan anaknya sendirian.
Tapi sebagai seorang ibu, Atun tau betul arti kata pantang
menyerah. Tiga orang putrinya menjadi penyemangat Atun mengais rezeki yang tak
semudah membalik telapak tangan. Atun bertekad menyekolahkan ketiga putrinya
hingga bangku kuliah. Buruh tani
serabutan, tukang cuci paruh waktu hingga menjadi pemecah batu ia lakoni. Seperti
CPU superkomputer, kemampuan multitasking Atun sebagai seorang ibu sangat
mengagumkan.
Hmm, Tapi keterpaksaan.
Suatu ketika Atun dihadapkan kepada kata keterpaksaan. Dalam
semangatnya yang menggebu layaknya pejuang, atun diharuskan memilih. Lima tahun
sepeninggalnya suami, Sari si putri sulungnya akan menginjak bangku SMP. “Bu,
tahun ini kan Sari lulus. Sari mau bantu ibu saja kerja, ngumpulin uang dulu
baru sekolah lagi bu,” ucap gadis sulungnya yang masih amat polos.
Dan saat itu bukan hanya Sari yang akan masuk sekolah, putri
bungsunya harus sudah masuk SD atau nanti ia akan terlalu tua masuk Sekolah.
Pun dengan putrinya yang nomor dua, Ratna, yang sebentar lagi akan menginjak
kelas empat membuat Atun semakin bingung harus kemana mencari nafkah ekstra. “Ndak
nak, kamu ndak boleh putus sekolah. Ibu masih bisa nyekolahin kamu. Kamu harus
bisa sekolah setinggi-tingginya, biar ndak kayak ibu nanti,” tutur Atun penuh
kasih.
Saat itu jalan pintas yang ada di benak Atun adalah merantau
seperti almarhum suaminya. Benar, merantau. Dia tahu kalo ia harus selamanya
hidup di desa jelas tidak akan ada perubahan, karena di desa tak banyak orang
maju, tak banyak orang pintar, tak banyak, sehingga seperti desa-desa yang
lain, desanya tertinggal. Desanya hanya menjadi lumbung padi murah yang kalah
jauh dengan padi Thailand atau Vietnam.
Antara Jakarta atau Malaysia, dua tempat itu menjadi pilihan
Atun untuk merantau.
Jakarta, kota sangar penuh desisan ketamakan menjadi salah
satu pilihan Atun. Tapi modal ijazah SD yang ia punya sepertinya tidak
realistis jika ia harus ke Jakarta. Dengan hanya berbekal ijazah SD, Atun sudah
tahu bahwa akan sulit mencari pekerjaan yang layak di Ibukota. Mungkin ia hanya
akan menjadi pembantu yang gajinya tak jauh beda dengan menjadi pembantu di
Cirebon jika ia harus merantau ke Jakarta.
“Sudahlah lebih baik kamu ikut aku saja ke Malaysia,” tukas
Parmi, sang teman yang menyanggah kegalauan Atun. “Kamu tau ndak? Gaji pembantu
di sana tuh bisa tiga juta tun, bayangin tiga juta. Kamu bisa nabung buat anak-anak
kamu sekolah. Atau nanti setelah pulang kamu bisa beli mesin jahit, ketimbang
kamu pinjam uang sana-sini ke rentenir buat beli mesin jahit.”
Malaysia, bukan kata asing bagi para penduduk di desa tempat
Atun tinggal. Kata itu menjadi penggoda. Kata itu seperti menjadi juru selamat
bagi para penduduk desa dalam sempitnya kesempatan. Malaysia, sudah sangat
tenar di telinga para gadis belia, ibu-ibu muda dan para pria desa. Banyak
perusahaan PJTKI yang mengirimkan para calonya ke kampung-kampung di sekitar
desa Atun. Menyebarkan rayuannya dengan embel-embel kekayaan.
Mungkin sama seperti penduduk di desa-desa tertinggal
lainnya di pulau Jawa, menjadi seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita) ke luar negri
adalah salah satu impian utama selain merantau ke Jakarta. Tak sedikit kaum
hawa di desa, termasuk beberapa teman Atun yang hidupnya menjadi lebih baik karena
menjadi pahlawan devisa ketimbang banting tulang tak dihargai di Negeri
sendiri. Tak sedikit para gadis dari desa merubah rumah hampir roboh menjadi
rumah hampir megah dari uang yang mereka kumpulkan di negri orang.
Karena alasan itu Atun akhirnya memutuskan untuk ikut
Suparmi ke Malaysia. Atun akhirnya membulatkan tekadnya untuk pergi ke Negeri
sebrang. Atun harus bisa menguatkan hati dan batinnya meninggalkan si bungsu
yang masih butuh kasih sayangnya.
“Tapi mbak, ijazahku Cuma SD, emangnya bisa?” tanya Atun
polos. “Kalo mbak kan lulusan SMP. Mbak’e bisa lebih gampang to’ buat jadi
TKW?”
“Ora opo-opo tun. Lha kamu tau si lastri ndak? Dia itu malah
ndak lulus SD, tapi dia bisa jadi TKW ke Malaysia. Sekarang kan dia punya
banyak sawah Tun, rumahnya gedong lagi,” ujar Parmi mencoba meyakinkan Atun.
“PJTKI Harapan Unggul nanti akan mengurusi semua keperluan kita. Pokoknya
sampean tinggal terima beres sampai di Malaysia,” mendengar itu, semakin
besarlah tekad Atun untuk pergi ke Malaysia.
*****
Setelah Atun berhasi memenuhi kualifikasi dari PJTKI, maka
ia berhak berangkat ke Malaysia.
Pada selasa pagi yang sedikit mendung Atun akhirnya
berangkat. Berdandan rapi dengan kerudung putih, Atun terlihat begitu jelita. Tapi
tetap saja, kejelitaan pada parasnya pagi itu tak bisa menutupi kesedihannya
sebagai seorang ibu yang harus meninggalkan putrinya yang masih kecil-kecil,
yang kini ia titipkan di rumah kakak pertamanya.
Di bantu ketiga anaknya yaitu Sari, Ratna dan putri
bungsunya Mimin, Atun membawa perlengkapan yang akan ia bawa. Pagi itu adalah
hari terakhir bagi ketiga bidadari Atun bercanda tawa bersamanya. “Ratna, nanti
kalo lebaran ibu akan beliin kamu sepeda. Tapi kamu harus janji jangan nakal di
rumah Pakde,” pesan Atun, sedikit mengurangi kesedihan Ratna melepas
kepergiannya.
“Janji ya bu,” ketus Ratna yang dibalas dengan anggukan sang
ibu.
“Dan kamu mimin, kamu mau dibeliin apa sama ibu?” tanya
Atun, kali ini kepada si Putri bungsu kesayangannya. “Kamu mau di beliin sepeda juga ya sama
seperti mbak Ratna?”
“Mimin mau dibeliin boneka beruang yang guede bu,” jawab
polos centil putri bungsunya.
Sementara putri sulungnya Sari hanya diam sepanjang jalan.
Sari sepertinya masih belum menerima dengan ikhlas bahwa ibunya harus merantau
ke Malaysia. Sebagai gadis yang tumbuh menjadi remaja labil, adalah hal wajar
jika ia bersedih dan marah melepas kepergian orang yang begitu dekat.
Atun mampir sejenak di rumah kakaknya untuk memberikan pesan
terakhir kepada sang kakak agar merawat dengan baik anak-anaknya. “Mas, aku
nitip anakku,” ujar Atun. “Jaga mereka baik-baik, lagian mereka gak suka jajan
kok. Anakku sudah ngerti kalau mereka orang ndak punya.”
“Yo wis, sudah pergi saja. Jangan khawatir Tun, anakmu bisa
tinggal di sini,” jawab sang kakak melegakan hati Atun. “Itu jemputanmu sudah
datang Tun, sudah pergi sana.”
“Kalian semua baik-baik ya. Jangan nakal sama Pakde,” pesan
terakhir Atun kepada Mimin dan Ratna, sembari memberikan kecupan sayang di dahi
putri-putrinya. “Ibu berangkat ya nak.”
Sebelum melangkahkan kaki, Atun mendekati Sari yang kala itu
hanya menunduk layu.
“Sari...” tutur Atun penuh kelembutan. “Maafin ibu, ibu
harus berangkat. Tolong jaga adikmu Ratna sama Mimin. Ibu janji, ibu ndak akan
ninggalin kalian. Ibu pasti akan pulang bawa uang banyak dari Malaysia,” Atun mengusap
dahi Sari, lantas mencium dahi putri sulungnya dengan penuh haru. Tapi Sari
masih saja diam, tak mengubah posisi pandangannya yang menunduk. Tanpa berkata,
Sari hanya mencium tangan Atun.
Atun melangkahkan kakinya menuju jemputan yang tepat
terparkir di tepi jalan di depan rumah sang kakak. Dalam langkahnya, batin Atun
menangis. Hati Atun meringis. Air mata sempat menetes haru di pipinya, dan langit
mendung seperti ikut bergumul bersama keharuannya. Atun seperti enggan
meninggalkan ketiga putrinya, tapi apa daya, kemiskinan memaksa, merongrong,
mencaci maki dirinya agar mencari jalan yang terbaik diantara yang tersulit.
Janda muda miskin itu kini harus belajar mengerti akan rindu untuk kedua
kalinya. Janda muda miskin itu kini harus pergi ke tanah serumpun yang kata
orang tak seramah dulu.
Bersama dengan belasan para calon TKW dalam mobil jemputan, hati
Atun mengeluh. Hati dan pikirannya terus menyalahkan kenapa ia harus lahir
sebagai orang miskin. Kenapa ia harus terlahir di desa kecil yang miskin. Kenapa
ia harus hidup dengan berhektar-hektar sawah orang yang tidak selalu produktif.
Kenapa ia harus lahir di tempat yang mungkin bagi orang maju di kota tak
menguntungkan. Dan ia menyalahkan kenapa hanya ada satu Jakarta. Kenapa.
Kini harapan Atun hanya satu. Menghabiskan kontraknya di Malaysia, lantas pulang membawa uang. Dan ia janji, ia akan membangun desanya, sehingga tak banyak lagi orang-orang desa yang harus hijrah ke Negeri orang mencari sesuap nasi dengan menjadi buruh kasar yang bodoh.
salut sama sampeyan mas. walau blognya sepi, tapi tetep semangat nulis sepanjang ini. memang menulis itu bagus buat mental kok. bagus!!!
BalasHapusBlog saya sepi karena gak ada suguhannya mas. Sekali adanya suguhan berat nan panjang kayak gini, jelas orang kagak mau berkunjung.
BalasHapusIbarat warung, warung saya seperti warung remang-remang, tapi sekali jualannya jualan leptop.. lah siapa yg mau beli.. hihihihihi...
Makasih masih setia berkunjung, BTW, gak fast reading kan..?
Saya fast reading Kakaaak
BalasHapusGenk, saya biasa disini nongkrong makan goreng tahu sama kopi susu, koq mendadak warungnya jualan gadget begini.
FYI, Umi saya juga pernah jadi TKW. Bukan main-main, ke Kuwait. Situ pernah ke Kuwait Genk? Pernah ke luar negeri Genk?
Seorang Ibu, demi anaknya berani menjajah negeri antah berantah. Saya tokoh nyata dari cerita yang elo tulis.
cerpen bagus mas...., selamat ikut kontes ya, thanks
BalasHapus@om Payjo...
BalasHapushahahaha, perasaan warung gw kagak jual gorengan sama kopi, cuma ada es teh tawar... hahahahaha
Kuwait? Luar Negri? Boro2, gw gak tertarik om saat ini ke luar negri, apalagi ke Malaysia... Bukannya gak bisa, tapi emang ga ada duit.. haha
ente pernah ditinggalin ke Kuwait? pantes gak jauh beda sama upil onta :D
Thanks gan sudah berkunjung, gw bangga karena slah satu blogger senior di Tangerang masih mau komen...
@Ascargo thanks atas kunjungannya....
Blog lo udah gw subscribe di Google Reader, yang artinya blog ini salah satu blog yang paling ditunggu postingan barunya. Jadi jangan bosen nulis terus Genk.
BalasHapusDibutuhkan segera tenaga kerja wanita untuk :
BalasHapus1.House Maid
2.Pengasuh Bayi
Dengan Kreteria :
1.Mempunyai paspor 48 yang masih hidup
2.Bisa Bahasa inggris / mandarin / kantonis
3.bersedia kontrak selama 2-4 th
4.bersedia proses di jawa timur
Fasilitas :
1.Gratis ( tanpa biaya )
2.Bisa tunggu dirumah
3.Medical Check up tidak diutamakan
4.usia maximal 45 th
5.Gaji 3000-3200yuan/bulan ( kurs rupiah Rp.1500 )
6.pemberangkatan cepat Tgl 10 Januari 2013
Jika anda merasa memenuhi kreteria di atas bisa langsung kirim scan Paspor,kk,ktp dan foto terbaru baground putih.ke email kami vio_corporation@yahoo.com
info lebih lengkap 081515402099 / 085335902099
hanya yang terpilih dalam interview oleh pihak china yang kita proses.