"Kita sudah cukup begini, kita hanya punya nama baik, itu saja yang harus kita jaga terus." (Muhammad Hatta)

Maaf nak, Ibu jadi TKW.

Senin, 18 Juni 2012


Sebut saja namanya Atun. Hanya Atun, itu saja, tak punya nama belakang apalagi gelar bangsawan. Jauh sebelum Atun pergi ke Malaysia, ibu muda yang hanya lulus SD ini sebenarnya sudah lama malang-melintang menjadi pembantu kesana-kemari. Dia adalah spesialis di bidang yang bagi sebagian orang di anggap sebelah mata. Ibarat kuliah, sudah seharusnya ia mendapat gelar Master untuk profesinya.

Sebenarnya Atun lebih senang bekerja di rumah para juragan di kota asalnya di Cirebon. Atun ingat betul saat pertama kali ia diterima bekerja sebagai pembantu di salah satu juragan ikan di sana. Delapan Tahun ia bekerja, ia selalu senang, tak pernah marah atau bahkan mengeluh dengan satu kata ‘haduh’ meski upah yang dia terima hanya sepertiga dari upah yang ia terima di Malaysia. Di sana pula Atun bertemu Pendi, yang akhirnya meminang Atun  hingga ia dikaruniai tiga orang putri. Tapi apa daya, krisis 98 membuat sang juragan gulung tikar dan bangkrut, sampai akhirnya terpaksa mem-PHK Atun yang merupakan salah satu dari tiga orang pembantu yang dimiliki sang juragan.

Selepas krisis hanya tinggal Pendi sang suami tercinta yang menjadi harapan bagi Atun dan keluarganya di Desa. Tapi cerita hidup berbeda saat ekonomi mulai menggeliat kembali di awal tahun 2000. Saat itu Pendi memutuskan untuk merantau ke Kalimantan menjadi buruh kasar di salah satu perusahaan kayu di sana. “Kenapa kamu harus pergi mas?” tanya Atun lirih.

“Kata pak Karto gaji disana besar ketimbang aku jadi kuli di sawah orang Tun,” jawab Pendi, terlihat penuh harap di raut wajahnya. “Kalo aku kerja di sana, rumah ini nanti akan kusambungin listrik, kamu akan aku belikan TV nanti,” sambung Pendi, semakin jauh meninggalkan rasa lelah atas ingatannya sebagai buruh tani.

Keesokaannya Atun pun melepas kepergian Pendi. Bersama tiga anaknya yang masih kecil-kecil Pendi mengucapkan kalimat perpisahan terakhir. “Tun jaga anakku ya, Nanti kalo aku dapat gaji, kamu beliin si Mimin susu, jangan kasih dia air gula lagi ya,” ujar Pendi, mencium kening putri bungsunya yang kala itu baru berusia dua tahun.

Siang gagah berganti malam yang lembut nan aduhai. Bergantian seperti sebuah sistem yang tak pernah mati, menjadi bukti bahwa waktu berpijak melangkah menjauh dari detik yang sepertinya baru kemarin.

Tercatat hingga tujuh bulan pertama Pendi masih rajin mengirimi Atun uang yang cukup melalui wesel pos. Tapi kemudian di bulan ke delapan ada kabar duka menghinggapi Atun. “Tun, suamimu tun,” ucap pak Karto, sang mandor bagi suaminya.

“Ada apa dengan mas Pendi pak?” tanya Atun gelisah.

“Ini ada amplop yang isinya uang dari Pendi buat kamu. Dan satu amplop ini adalah uang dari perusahaan buat kamu juga,” tutur pak Karto membuat Atun semakin gelisah. “Pendi. Pendi sudah ndak ada tun. Dia kecelakaan sewaktu menebang kayu.”

Mendengar kabar itu Atun seperti kehilangan arah. Atun seperti jatuh dalam bayang-bayang ketidakmungkinan. Seperti ditelantarkan dalam keramaian, hati Atun marah dan geram tak menentu. Lantas, Atun hanya bisa menangis. Menangis lirih. Tangisan diamnya membuat laju angin seperti hilang. Atun kini di hadapi bayang-bayang membesarkan anaknya sendirian.

Tapi sebagai seorang ibu, Atun tau betul arti kata pantang menyerah. Tiga orang putrinya menjadi penyemangat Atun mengais rezeki yang tak semudah membalik telapak tangan. Atun bertekad menyekolahkan ketiga putrinya hingga bangku kuliah.  Buruh tani serabutan, tukang cuci paruh waktu hingga menjadi pemecah batu ia lakoni. Seperti CPU superkomputer, kemampuan multitasking Atun sebagai seorang ibu sangat mengagumkan.

Hmm, Tapi keterpaksaan.

Suatu ketika Atun dihadapkan kepada kata keterpaksaan. Dalam semangatnya yang menggebu layaknya pejuang, atun diharuskan memilih. Lima tahun sepeninggalnya suami, Sari si putri sulungnya akan menginjak bangku SMP. “Bu, tahun ini kan Sari lulus. Sari mau bantu ibu saja kerja, ngumpulin uang dulu baru sekolah lagi bu,” ucap gadis sulungnya yang masih amat polos.

Dan saat itu bukan hanya Sari yang akan masuk sekolah, putri bungsunya harus sudah masuk SD atau nanti ia akan terlalu tua masuk Sekolah. Pun dengan putrinya yang nomor dua, Ratna, yang sebentar lagi akan menginjak kelas empat membuat Atun semakin bingung harus kemana mencari nafkah ekstra. “Ndak nak, kamu ndak boleh putus sekolah. Ibu masih bisa nyekolahin kamu. Kamu harus bisa sekolah setinggi-tingginya, biar ndak kayak ibu nanti,” tutur Atun penuh kasih.

Saat itu jalan pintas yang ada di benak Atun adalah merantau seperti almarhum suaminya. Benar, merantau. Dia tahu kalo ia harus selamanya hidup di desa jelas tidak akan ada perubahan, karena di desa tak banyak orang maju, tak banyak orang pintar, tak banyak, sehingga seperti desa-desa yang lain, desanya tertinggal. Desanya hanya menjadi lumbung padi murah yang kalah jauh dengan padi Thailand atau Vietnam.

Antara Jakarta atau Malaysia, dua tempat itu menjadi pilihan Atun untuk merantau.

Jakarta, kota sangar penuh desisan ketamakan menjadi salah satu pilihan Atun. Tapi modal ijazah SD yang ia punya sepertinya tidak realistis jika ia harus ke Jakarta. Dengan hanya berbekal ijazah SD, Atun sudah tahu bahwa akan sulit mencari pekerjaan yang layak di Ibukota. Mungkin ia hanya akan menjadi pembantu yang gajinya tak jauh beda dengan menjadi pembantu di Cirebon jika ia harus merantau ke Jakarta.

“Sudahlah lebih baik kamu ikut aku saja ke Malaysia,” tukas Parmi, sang teman yang menyanggah kegalauan Atun. “Kamu tau ndak? Gaji pembantu di sana tuh bisa tiga juta tun, bayangin tiga juta. Kamu bisa nabung buat anak-anak kamu sekolah. Atau nanti setelah pulang kamu bisa beli mesin jahit, ketimbang kamu pinjam uang sana-sini ke rentenir buat beli mesin jahit.”

Malaysia, bukan kata asing bagi para penduduk di desa tempat Atun tinggal. Kata itu menjadi penggoda. Kata itu seperti menjadi juru selamat bagi para penduduk desa dalam sempitnya kesempatan. Malaysia, sudah sangat tenar di telinga para gadis belia, ibu-ibu muda dan para pria desa. Banyak perusahaan PJTKI yang mengirimkan para calonya ke kampung-kampung di sekitar desa Atun. Menyebarkan rayuannya dengan embel-embel kekayaan.

Mungkin sama seperti penduduk di desa-desa tertinggal lainnya di pulau Jawa, menjadi seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita) ke luar negri adalah salah satu impian utama selain merantau ke Jakarta. Tak sedikit kaum hawa di desa, termasuk beberapa teman Atun yang hidupnya menjadi lebih baik karena menjadi pahlawan devisa ketimbang banting tulang tak dihargai di Negeri sendiri. Tak sedikit para gadis dari desa merubah rumah hampir roboh menjadi rumah hampir megah dari uang yang mereka kumpulkan di negri orang.

Karena alasan itu Atun akhirnya memutuskan untuk ikut Suparmi ke Malaysia. Atun akhirnya membulatkan tekadnya untuk pergi ke Negeri sebrang. Atun harus bisa menguatkan hati dan batinnya meninggalkan si bungsu yang masih butuh kasih sayangnya.

“Tapi mbak, ijazahku Cuma SD, emangnya bisa?” tanya Atun polos. “Kalo mbak kan lulusan SMP. Mbak’e bisa lebih gampang to’ buat jadi TKW?”

“Ora opo-opo tun. Lha kamu tau si lastri ndak? Dia itu malah ndak lulus SD, tapi dia bisa jadi TKW ke Malaysia. Sekarang kan dia punya banyak sawah Tun, rumahnya gedong lagi,” ujar Parmi mencoba meyakinkan Atun. “PJTKI Harapan Unggul nanti akan mengurusi semua keperluan kita. Pokoknya sampean tinggal terima beres sampai di Malaysia,” mendengar itu, semakin besarlah tekad Atun untuk pergi ke Malaysia.

*****

Setelah Atun berhasi memenuhi kualifikasi dari PJTKI, maka ia berhak berangkat ke Malaysia.

Pada selasa pagi yang sedikit mendung Atun akhirnya berangkat. Berdandan rapi dengan kerudung putih, Atun terlihat begitu jelita. Tapi tetap saja, kejelitaan pada parasnya pagi itu tak bisa menutupi kesedihannya sebagai seorang ibu yang harus meninggalkan putrinya yang masih kecil-kecil, yang kini ia titipkan di rumah kakak pertamanya.

Di bantu ketiga anaknya yaitu Sari, Ratna dan putri bungsunya Mimin, Atun membawa perlengkapan yang akan ia bawa. Pagi itu adalah hari terakhir bagi ketiga bidadari Atun bercanda tawa bersamanya. “Ratna, nanti kalo lebaran ibu akan beliin kamu sepeda. Tapi kamu harus janji jangan nakal di rumah Pakde,” pesan Atun, sedikit mengurangi kesedihan Ratna melepas kepergiannya.

“Janji ya bu,” ketus Ratna yang dibalas dengan anggukan sang ibu.

“Dan kamu mimin, kamu mau dibeliin apa sama ibu?” tanya Atun, kali ini kepada si Putri bungsu kesayangannya.  “Kamu mau di beliin sepeda juga ya sama seperti mbak Ratna?”

“Mimin mau dibeliin boneka beruang yang guede bu,” jawab polos centil putri bungsunya.

Sementara putri sulungnya Sari hanya diam sepanjang jalan. Sari sepertinya masih belum menerima dengan ikhlas bahwa ibunya harus merantau ke Malaysia. Sebagai gadis yang tumbuh menjadi remaja labil, adalah hal wajar jika ia bersedih dan marah melepas kepergian orang yang begitu dekat.

Atun mampir sejenak di rumah kakaknya untuk memberikan pesan terakhir kepada sang kakak agar merawat dengan baik anak-anaknya. “Mas, aku nitip anakku,” ujar Atun. “Jaga mereka baik-baik, lagian mereka gak suka jajan kok. Anakku sudah ngerti kalau mereka orang ndak punya.”

“Yo wis, sudah pergi saja. Jangan khawatir Tun, anakmu bisa tinggal di sini,” jawab sang kakak melegakan hati Atun. “Itu jemputanmu sudah datang Tun, sudah pergi sana.”

“Kalian semua baik-baik ya. Jangan nakal sama Pakde,” pesan terakhir Atun kepada Mimin dan Ratna, sembari memberikan kecupan sayang di dahi putri-putrinya. “Ibu berangkat ya nak.”

Sebelum melangkahkan kaki, Atun mendekati Sari yang kala itu hanya menunduk layu.

“Sari...” tutur Atun penuh kelembutan. “Maafin ibu, ibu harus berangkat. Tolong jaga adikmu Ratna sama Mimin. Ibu janji, ibu ndak akan ninggalin kalian. Ibu pasti akan pulang bawa uang banyak dari Malaysia,” Atun mengusap dahi Sari, lantas mencium dahi putri sulungnya dengan penuh haru. Tapi Sari masih saja diam, tak mengubah posisi pandangannya yang menunduk. Tanpa berkata, Sari hanya mencium tangan Atun.
 
Atun melangkahkan kakinya menuju jemputan yang tepat terparkir di tepi jalan di depan rumah sang kakak. Dalam langkahnya, batin Atun menangis. Hati Atun meringis. Air mata sempat menetes haru di pipinya, dan langit mendung seperti ikut bergumul bersama keharuannya. Atun seperti enggan meninggalkan ketiga putrinya, tapi apa daya, kemiskinan memaksa, merongrong, mencaci maki dirinya agar mencari jalan yang terbaik diantara yang tersulit. Janda muda miskin itu kini harus belajar mengerti akan rindu untuk kedua kalinya. Janda muda miskin itu kini harus pergi ke tanah serumpun yang kata orang tak seramah dulu.

Bersama dengan belasan para calon TKW dalam mobil jemputan, hati Atun mengeluh. Hati dan pikirannya terus menyalahkan kenapa ia harus lahir sebagai orang miskin. Kenapa ia harus terlahir di desa kecil yang miskin. Kenapa ia harus hidup dengan berhektar-hektar sawah orang yang tidak selalu produktif. Kenapa ia harus lahir di tempat yang mungkin bagi orang maju di kota tak menguntungkan. Dan ia menyalahkan kenapa hanya ada satu Jakarta. Kenapa.

Kini harapan Atun hanya satu. Menghabiskan kontraknya di Malaysia, lantas pulang membawa uang. Dan ia janji, ia akan membangun desanya, sehingga tak banyak lagi orang-orang desa yang harus hijrah ke Negeri orang mencari sesuap nasi dengan menjadi buruh kasar yang bodoh.

7 komentar:

  1. salut sama sampeyan mas. walau blognya sepi, tapi tetep semangat nulis sepanjang ini. memang menulis itu bagus buat mental kok. bagus!!!

    BalasHapus
  2. Blog saya sepi karena gak ada suguhannya mas. Sekali adanya suguhan berat nan panjang kayak gini, jelas orang kagak mau berkunjung.

    Ibarat warung, warung saya seperti warung remang-remang, tapi sekali jualannya jualan leptop.. lah siapa yg mau beli.. hihihihihi...

    Makasih masih setia berkunjung, BTW, gak fast reading kan..?

    BalasHapus
  3. Saya fast reading Kakaaak
    Genk, saya biasa disini nongkrong makan goreng tahu sama kopi susu, koq mendadak warungnya jualan gadget begini.

    FYI, Umi saya juga pernah jadi TKW. Bukan main-main, ke Kuwait. Situ pernah ke Kuwait Genk? Pernah ke luar negeri Genk?

    Seorang Ibu, demi anaknya berani menjajah negeri antah berantah. Saya tokoh nyata dari cerita yang elo tulis.

    BalasHapus
  4. cerpen bagus mas...., selamat ikut kontes ya, thanks

    BalasHapus
  5. @om Payjo...
    hahahaha, perasaan warung gw kagak jual gorengan sama kopi, cuma ada es teh tawar... hahahahaha
    Kuwait? Luar Negri? Boro2, gw gak tertarik om saat ini ke luar negri, apalagi ke Malaysia... Bukannya gak bisa, tapi emang ga ada duit.. haha
    ente pernah ditinggalin ke Kuwait? pantes gak jauh beda sama upil onta :D
    Thanks gan sudah berkunjung, gw bangga karena slah satu blogger senior di Tangerang masih mau komen...

    @Ascargo thanks atas kunjungannya....

    BalasHapus
  6. Blog lo udah gw subscribe di Google Reader, yang artinya blog ini salah satu blog yang paling ditunggu postingan barunya. Jadi jangan bosen nulis terus Genk.

    BalasHapus
  7. Dibutuhkan segera tenaga kerja wanita untuk :
    1.House Maid
    2.Pengasuh Bayi
    Dengan Kreteria :
    1.Mempunyai paspor 48 yang masih hidup
    2.Bisa Bahasa inggris / mandarin / kantonis
    3.bersedia kontrak selama 2-4 th
    4.bersedia proses di jawa timur
    Fasilitas :
    1.Gratis ( tanpa biaya )
    2.Bisa tunggu dirumah
    3.Medical Check up tidak diutamakan
    4.usia maximal 45 th
    5.Gaji 3000-3200yuan/bulan ( kurs rupiah Rp.1500 )
    6.pemberangkatan cepat Tgl 10 Januari 2013
    Jika anda merasa memenuhi kreteria di atas bisa langsung kirim scan Paspor,kk,ktp dan foto terbaru baground putih.ke email kami vio_corporation@yahoo.com
    info lebih lengkap 081515402099 / 085335902099
    hanya yang terpilih dalam interview oleh pihak china yang kita proses.

    BalasHapus

Kalau mau komen silahkan komen. Siapa aja boleh komen, apa aja asal tidak menghina SARA. Woles men...