Mataku seperti berputar-putar. Semua pandangan terihat berputar. Paru-paru lantang memompa oksigen dengan cepat, seirama dengan jantung yang berdetak kencang. "Aaarrrgghh...!!" Aku teriak. Bersama kepasrahan, tubuhku terasa diputar-putar, dipelintir dan ditenggelamkan. Seperti terhisap pusaran dengan tarikan ultra-cepat, jiwaku seakan copot dengan ragaku. Hingga kira-kira setelah beberapa puluh detik, aku terhempas bebas dari pusaran itu.
Cucuran keringat jadi teman setia saat aku terlentang mendarat. Aku mendarat di sebuah tempat yang tak terbayangkan bisa kulihat. Mungkin tepatnya adalah tempat entah-berantah jika aku harus berbicara dengan gaya sastra untuk menamai area pendaratanku itu. Tempat itu benar-benar asing bagi mataku. Banyak orang berlalu-lalang, tapi orang-orang itu benar-benar asing. Yang paling membuat orang-orang itu terlihat amat asing adalah penampilan mereka.
Aku bangun dari gaya mendaratku. Aku pandang ke seliling arah, ternyata aku berada di sebuah tempat yang ramai, yang sepertinya tempat publik. Hanya saja arsitektur tempat yang kupijaki ini, aku yakin tak pernah ada sebelumnya. Kau tahu? aku berada di sebuah tempat yang lantainya tak lagi berbahan dasar semen. Lantainya mengeluarkan aura berwarna biru muda dan transparan hingga aku bisa melihat orang berlalu lalang di bawah kakiku. Dan, yang membuatku tercengang, di tempat aneh tersebut aku bisa melihat gumpalan awan begitu dekat lengkap dengan terangnya mentari yang tidak terasa panas. Aku yakin, ini bukan planet namex, seiya ataupun kampungnya obi wan kenobi. Aku yakin, aku tidak berada di lain galaksi.
"Woi...!" tiba-tiba ada yang memanggilku, mengetuk pundakku dari arah belakang.
"Wuidihh...!" aku terkejut ketika menoleh menatap orang itu. kau tahu kenapa? Orang yang memanggilku itu adalah Vino G Bastian, salah satu aktor idolaku.
"Ule Jang naberma Bgenk?" ia sepertinya bertanya kepadaku. Tapi aku hanya mengkerutkan dahi karena heran sekaligus tak mengerti apa yang ia ucapkan. "Hahahaha, ge tu kalo ule not hapm lengwac ge," tiba-tiba ia mengangkat tangan kirinya. Menekan sebuah tombol pada sebuah alat yang mirip jam tangan.
"Wow..." mulutku menganga karena takjub saat alat itu mengeluarkan cahaya biru yang membentuk pola 6 dimensi ke udara. Lantas pola 6 dimensi itu dengan sekejap membentuk benda padat menyerupai jam yang ia kenakan tersebut. Dia memberikan alat itu kepadaku. Dan hanya dengan isyarat, ia menyuruhku menggunakan alat itu.
Kupakai alat pemberiannya yang bisa menempel otomatis karena gaya magnetisnya. "Ini namanya Dreamdisk." Ucapnya, kali ini aku mengerti apa yang ia ucapkan. "Bagaimana, lu ngerti apa yang gue ucapkan sekarang? Itu semua karena alat itu. Ya, alat itu sudah di desain agar menyatu dengan orang yang memakainya."
"Sebaliknya, apa lu ngerti gue ngomong apa sekarang? Berarti alat ini tahu apa yang harus ia kerjakan tanpa kita perintah?" tanyaku takjub.
"Ya, gue ngerti lu ngomong apa sekarang," ungkapnya. "Tepatnya, salah satu kegunaan alat ini adalah mampu mengkondisikan kita ke dalam situasi apapun. Termasuk memberi ide saat lu harus berbohong di depan cewek lu. Selain fungsi dasarnya mampu mentranslasikan bahasa yang lu ucapkan ke lebih dari 16.000 bahasa yang pernah tercatat dalam sejarah, alat itu pun bisa menjadi tameng anti peluru cahaya berkaliber 16 Gigakandela (GCd)," tuturnya seperti menyampaikan omong-kosong. "Beberapa merk mahal bahkan mampu menjadi tameng bagi tuannya agar terlindung dari ultraradiasi bom Proto Hydronuklir, sebuah bom yang mampu mambakar area di sekitar inti ledakan hingga radius 500 kilometer."
Aku menarik nafas sedikit dalam setelah mendengar apa yang ia tuturkan. Sepertinya aku memang berada dalam dekapan omong-kosong yang dibenamkan penuh ego atas semua ke-intelektulitas-an manusia. Aku seperti kembali ke pandangan masa lalu. Menembus setiap lorong ingatan akan degup kagumku terhadap sebuah kata 'Teknologi' yang banyak diantaranya tak mampu kubeli.
"Gue sampai lupa, sebenarnya, ada dimana gue sekarang? Kenapa gue ada disini? Dan harus kemana gue setelah disini?" tanyaku penuh harap, semakin besar penasaranku atas semua rahasia ini.
"Ok, sabar sob. Gue disini atas perintah sang mahaguru Induktor Dualmega. Hanya dia yang tahu jawabannya sob," jawabnya semakin membuatku gusar. "Yang jelas lu berada di simpangan 3 titik pertemuan yang gue sendiri nggak tahu apa itu. Tapi kalo lu hitung ke dalam satuan di zaman lu, elu sekarang berada di tanggal 28 Desember 4999 masehi. Itu artinya lu masih punya waktu selama 3 hari, jika telat lu bakal di dunia ini selamanya."
"Berarti lu adalah Mikrobit Protokol? Dan Mikrobit Protokol itu adalah sebuah nama? Ngehe lah... Tai... Bangunin! bangunin gue tidur! gue lagi tidurkan sekarang..?!!!" seruku, mengancam.
"Tenang aja sob! Tugas gue disini cuma menjemput lu dan mengantar lu kepada Induktor Dualmega!" ia membalas ancamanku.
Cerita Bersambung ini adalah bagian dari proyek fiksi amatir 'Bgenk Fiction Project'...
Baca juga episode sebelumnya :
hahhaa.. gak ngarti, apa enggak nyambung, khayal banget #plak.. namanya aja cerita fiksiiiiiiiiii :P
BalasHapusHahahahahaha... Yang penting hepi mbak...
BalasHapusbahasane wis khas mas... tinggal dilanjutkan wae.. whehehee
BalasHapus@ndoppp.... yomaannnnnn... bakal gw lanjutin meski dengan semangat dan koneksi yg pas2an... wkwkwkwkwkwk
BalasHapusBenar-benar fiksi
BalasHapusFiksi benar-benar
Benar, Fiksi benar..
Salam Takzim