"Kita sudah cukup begini, kita hanya punya nama baik, itu saja yang harus kita jaga terus." (Muhammad Hatta)

Cerpen: Mojok di Bioskop

Jumat, 26 Februari 2016

Ilustrasi Gambar: media.viva.co.id

Alkisah, sebuah cerita gak jelas terjadi di sebuah kampung yang harus menjadi kota karena terletak di pinggiran ibukota. Sebuah kampung yang kehidupan sosial masyarakatnya tak lagi soal kesahajaan dan kesederhanaan, tapi tentang materialisme. Halah....

Hujan baru saja reda, menyisakan gerimis-gerimis kecil dan kelap-kelip kilat di langit. Malam itu, seorang pemuda yang masih saja sarungan sedang asyik ria browsing di hape bututnya.  Sebut saja namanya Mamat. Pemuda dengan pekerjaan serabutan dan payah ini tiba-tiba saja mendapat pesan singkat dari aplikasi mesengger-nya.

“Test,” sebuah pesan masuk dari seorang perempuan bernama Rani.

“Tis,” balas Mamat,  biar terlihat humoris.

“Besok kerja gak?” Rani yang sangat jarang sekali berkirim pesan tiba-tiba saja menghubungi Mamat malam itu.


“Enggak. Aku mah tiap hari juga di rumah ajah. Da aku mah apa atuh. Haha, kenapa Ran?” Tanya mamat heran sekaligus senang. Bagaimana tak senang, Rani adalah cewek yang di poto profil selalu berpenampilan menarik, berkulit putih, dan bikin banyak mata lelaki mengirimkan sinyal mayday-mayday ke dalam sel-sel otak kotor apabila melihatnya.

“Yang bener? Besok bisa anter saya gak? Hehe...” Rani tanpa ragu.

“Iya bener. Wah kemana tuh? Jauh gak?” tanya Mamat heran.

Mamat adalah tipikal lelaki yang suudzon, pelit, dan agak perhitungan. Sesaat setelah Rani meminta pertolongannya, ia langsung berpikir negatif tentang Rani. Dalam hatinya terbesit “Dasar cewek gahol, ya kenapa gak minta anterin cowoknya aja sih?” meski lantas dilawan dengan statement ala buaya buntung di sisi otaknya yang lain, yang bilang “Ah tapi gak apa-apa deh, kapan lagi bisa jalan sama cewek sebohay Rani.”

Rani sendiri tinggal sekampung dengan Mamat, hanya beda RT saja. Rani, 22 tahun, memang terkenal selalu modis dan WOW dalam berdandan, meski gak WOW-WOW banget juga sih. Pekerjaannya sebagai staff kantoran di sebuah perusahaan membuat Rani mendapat cap perempuan papan atas di kampung.  Rani juga selalu jadi salah satu bahan perbincangan bagi lelaki-lelaki mata keranjang di kampung, termasuk bagi Mamat yang sudah mengenal Rani sejak zaman ngaji sewaktu zaman anak kecil dulu.

“Emang kenapa kalo jauh or deket?” tanya Rani.

“Ya gak kenapa-napa juga sih. Hahaha.... Ya udah emang mau diantar ke mana?” balas Mamat.

Rani menunjukan sebuah alamat, lantas memberitahu Mamat ihwal tujuannya, mengenai panggilan interview kerja.

“Jadi bisa gak anter? Tau kan tempatnya?” Rani memohon.

“Hmmm.... Gimana ya...? Tapii....” mamat sok bikin penasaran.

“Tapi apaaa.....?” tanya Rani.

“Tapi aku gak punya motor. Motornya diambil debt collector,” ungkap Mamat ditambah sebuah emotikon menangis sedih. Dia tak peduli harga dirinya sebagai laki-laki jatuh karena terlalu jujur menjadi lelaki payah.

“Haha..... Iya iya pake motor Rani aja. Gak apa-apa kok. Tapi motornya belum dicuci, gak apa-apa ya? Gak malu kan?” ternyata Rani adalah seorang perempuan yang sederhana dan apa-adanya juga. Berbanding terbalik dengan apa yang dipikirkan para lelaki seperti Mamat yang kampungan. Yang selalu menilai bahwa perempuan-perempuan high-class hanya mau diantar dengan mobil bersupir cowok ganteng anak orang kaya.

Mamat sendiri sebetulnya adalah lelaki yang sederhana dan apa adanya. Dia tidak pernah jaim kepada siapa pun. Kalau bisa ya bisa. Kalau enggak bisa, ya enggak bisa. Tetapi sifat sederhana dan keapa-adaannya itu bisa berubah seratus delapan puluh derajat di hadapan perempuan pujaan. Di hadapan perempuan yang dicintainya, Mamat bisa menjadi lelaki yang sok bisa, sok pengertian, sok mampu, sok pintar, sok gagah, bahkan sok punya duit buat ini-itu.
            
            “Ya udah besok jangan sampe kesiangan ya. Awas, jam 7 pas ya?” ancam Rani.
                
          “Ya siap non! Tenang aja, pasti on time Mamat mah,” jawab Mamat sambil menambahkan emotikon senyum yang memperlihatkan gigi.
                
            Mamat girang bukan kepalang karena tak disangka tak dinyana Rani, salah satu perempuan yang ada di alam pikiran ngeresnya tiba-tiba saja memohon bantuan padanya. Seperti mendapat durian runtuh, itulah peribahasa lebay yang pas buat Mamat malam itu. Pikiran joroknya langsung terbang sangat tinggi. Belum juga bertemu dengan Rani, malam itu pula libido Mamat malah sudah memuncak dua meter lebih tinggi dari puncak tertinggi di pegunungan Jaya Wijaya.

Malam itu pula Mamat mendeklarasikan diri, “Besok Gw harus jadi pejantan. Gw udah gak kuat. Gw harus lampiaskan sama Rani, atau pura-pura aja dulu jadi cowoknya. Ya. Harus!” Mamat memang payah. Pengalamannya yang sangat minim di dunia pacaran telah membutakan naluri lelakinya. Perempuan tentu saja tak sesederhana dan semurah itu.

                Pagi pun tiba.

                Mamat yang biasanya bangun paling pagi jam delapan, kali ini justru sudah ngopi sejak jam enam pagi. Dia begitu bersemangat ingin mengantar Rani ke tempat interview kerja. Sampai tiba waktunya jam tujuh, jam di mana mereka membuat janji.

         “Gimana Ran, jadi gak?” Mamat mengirim sebuah pesan pada jam tujuh lewat lima.

      “Ping!!! Ya jadi. Jam setengah delapan ya, ini kesiangan. Hehehe...” jawab Rani lima menit kemudian.

         “Huh dasar cewek, dia yang bilang gak boleh telat, dia sendiri yang telat,” keluh Mamat dalam hatinya yang saat itu sudah dalam keadaan rapi dan wangi dengan semprotan Kispray.

       “Mamat udah nunggu di warung depan pinggir jalan ya Ran,” tak berselang lama Rani pun datang menggunakan motor metik miliknya.

         Sudah tentu Mamat lah yang diberi tugas untuk menjadi pengemudi motor Rani pagi itu. Dia agak sedikit gemetar, maklum Mamat adalah jomblo yang jarang banget ngojekin perempuan. Terlebih perempuan seseksi Rani.

      “Kenapa ngelamar kerja lagi Ran? Emang di tempat kerja yang lama kenapa?” Dalam perjalanan sesekali Mamat pura-pura kepo. Dia hanya berharap biar gak dicap cowok membosankan.

          “Ya biasalah, di situ gajinya kecil. Aku kan tahun kemaren udah lulus. Masa gajinya gak naek. Atasannya juga rese lagi,” terang Rani.

         “Wah kamu udah lulus kuliah? Jurusan apa?” tanya Mamat lagi.

         “Iya, S1 manajemen,” jawab Rani.

         “Emang kamu udah berapa lama kerja di tempat yang sekarang? Kenapa gak bertahan aja, siapa tau nanti jadi menejer,” Mamat sok memberi solusi.

                “Ih gak ah. Udah males kerja di situ. Udah 4 tahun, pengen cari suasana baru juga.” ujar Rani, sesekali memegang erat Mamat saat ban motor harus bertemu jalan berlubang.

           Pagi itu jalanan lumayan macet. Matahari masih enggan menunjukan sinar gagahnya. Mendung, dalam hati Mamat berharap semoga jangan turun hujan. Mamat tak pedulikan lalu lalang di jalanan. Di pikirannya pagi itu hanya sebuah niat jelek. Niat jahat untuk menikmati Rani.

                “Nah ini rukonya deh,” ujar Mamat yakin.

          “Ya bener. Kamu mah apal ya nama jalan-jalannya, hehe...” ucap Rani mulai berani melempar tawa, yang menurut Mamat seolah menggoda.

            Rani kembali memperbaiki makeup-nya dengan peralatan perang yang dia bawa di tas. Sendal jepit yang digunakan pun dia ganti dengan high-heels yang tersimpan di jok motor.

       “WOW...” ujar Mamat dalam hati. Sejenak Mamat terpesona dengan kemolekan Rani. Visualisasi seorang Rani langsung ia transformasikan dengan otomatis ke dalam khayalan kotornya. Ke dalam salah satu adegan di film JAV bergenre pekerja kantor yang pernah ia tonton.

Rani sendiri bukan perempuan yang dicintai mamat. Jadi bagi mamat, menilai Rani melalui nafsu adalah utama. Baginya nilai kecantikan wajah Rani 75%. Nilai dandannya 90%. Tapi ada faktor lain, yakni nilai keseksian. Bagi Mamat, Rani memiliki nilai keseksian sekitar 95%. Derai rambutnya pasti dirawat teratur di salon, ditambah make-up pas dan kekinian lengkap dengan pakaian ala staf kantor perempuan terlihat begitu menggoda di badan Rani yang mungil ideal.

“Kamu tunggu di dalem aja gak apa-apa kok,” ujar Rani.

        “Gak ah, Mamat nunggu di sini aja. Soalnya malu pake sendal jepit swallow, kayak korban  banjir, hehe...” kata Mamat ngeless.

        “Serius? Eh tapi lama tau. Gak apa-pa juga sih kalo emang mau kemana dulu gitu, ntar kalo udah selesai Rani kabarin,” tambah Rani merasa tak enak hati kepada Mamat.

         “Gak apa-apa, Mamat tungguin di sini aja. Tenang, banyak tukang kopi kok di sini. Santai aja, woles ja gak kemana-mana ini kok,” Mamat tersenyum palsu.

     “Ya udah deh ya, aku masuk ke dalam dulu. Bentar lagi mau dimulai. Makasih ya,” Rani membalas senyum membuat Mamat semakin pede dan yakin kalau Rani pasti sudah masuk perangkapnya.

Mamat memang seorang lelaki yang sama seperti kebanyakan lelaki dewasa lain, memiliki penyakit ‘sindrom mata jelalatan’ dan terkadang ditambah ‘serangan otak ngeres’. Tapi meski begitu, ia adalah seorang lelaki yang paling bisa dijaga perkataannya. Meski Rani bukan perempuan yang dicintainya, Mamat tetap setia menunggu Rani yang sedang di interview kerja. Tentulah kemauan untuk menunggu itu bukan ada karena hal yang tanpa pamrih. Tapi karena ada semacam asumsi yang mengatakan bahwa, Rani akan mau memberikan tubuh indahnya demi nafsu menjijikan Mamat yang semakin penuh di usia 25 tahunnya.

 Berbatang-batang rokok telah habis dihisap. Ditemani langit yang masih muram, mendung pucat sesekali menurunkan gerimisnya. Mamat masih setia menunggu Rani di luar komplek ruko yang menjadi kawasan perkantoran. Dua gelas sudah dia memesan kopi, mulai dari kopi hitam sampai kopi putih, Rani masih belum pula selesai di interview.

         “Nganter non Rani yang lagi di interpiyu. Semangat non. Terus aku kapan di interpiyunya? Eh... :D ” sesekali Mamat menulis status di aplikasi mesengernya, berharap Rani membaca status yang penuh dengan modus tersebut.

Berjam-jam berlalu, tepat sesaat sebelum jam makan siang, Rani pun akhirnya selesai di interview.

            “Lagi di mana? Aku udah selesai nih,” Rani mengirim pesan.

        “Lagi di belakang Rani, di samping tiang nih,” balas Mamat, menunjukan keberadaannya sambil tiba-tiba muncul dari samping tiang ruko.

          “Udahan interview-nya? Bentar amat?” tanya Mamat, sok humoris.

          “Udah lah, lagian suruh siapa nungguin,” Rani penuh kemanjaan.

        “Hehe, iya iya gak apa-apa kok Ran, santai aja keleus. Kan udah ngopi,” ujar Mamat dengan senyum palsu. “Ya udah kalau gitu hayu kita pulang,”

Mamat kembali menjalankan tugasnya sebagai pengemudi motor Rani. Seperti biasa, meski masih canggung Mamat sesekali mencoba menjadi lelaki sok asyik dengan beberapa kali melemparkan pertanyaan kepo.

          “Lulus gak di interview-nya Ran?” tanya Mamat sambil fokus mengemudikan motor.

         “Ya belum dikasih tau lah hasilnya. Sebenearnya tadi mah baru tes aja. Lagian yang di tes juga banyakan,” jawab Rani.

         “Oh begitu... Terus kita mau ke mana lagi nih sekarang?” tanya Mamat lagi, penuh kepayahan. Harusnya sebagai lelaki yang punya niat jahat, dia sudah bisa menunjukan kemana lagi harus pergi mencari tempat yang tepat.

“Gak tau. Emang mau ke mana lagi gitu?” Rani balik bertanya.

“Dih gak tau Mamat geh. Ya udah deh kita pulang aja ya. Lagian langitnya juga mendung aja, takut hujan,” ujar Mamat, sekali lagi membuktikan kepayahannya.

“Eh kita nonton aja yuk?” tiba-tiba Rani melempar ajakan mengejutkan.

Seperti disambar petir tiba-tiba, Mamat kebingungan. Di kantong Mamat hanya terdapat selembar uang tunai lima puluh ribu rupiah. Mamat kebingungan dan cemas. Kali ini dia tak mau lagi menjatuhkan harga dirinya dengan menjadi ‘lelaki yang gak punya modal’.

“Hmm, nonton?” tanya Mamat lemas. “Tapi bayarnya masing-masing aja ya Ran. Hehe, soalnya Mamat lagi pelit,” tambah Mamat dengan terpaksa.

“Gratis. Rani yang traktir deh. Kan Mamat udah anterin Rani,” ucap Rani, memegang erat Mamat.

“Wah serius?” kata Mamat. Seperti mendapat durian runtuh untuk kedua kalinya, semangat mamat kembali membara. Dan tentu saja pikiran kotor dan niat jahatnya.

“Iya...!” seru Rani, tersenyum.

“Ya atuh hayu kalau gitu mah. Makasih ya Rani...” mamat tersenyum sumringah. Tancap gas menuju bioskop. “Ini kan hari senin. Cuacanya mendung juga lagi. Haha, gak kebayang nanti bioskop sesepi dan sedingin apa, hahah!” pikir Mamat sambil tertawa penuh kejahatan.

Mamat dan Rani tiba di sebuah mall yang memiliki bioskop.

Sebetulnya Mamat agak cemas jika harus berjalan di pusat keramaian bersama seorang perempuan. Alasan pertama, ia khawatir bertemu dengan perempuan pujaan. Meski perempuan pujaan yang sangat dia cintai telah menyuruh Mamat untuk melupakannya. Dia tetap khawatir bertemu lalu dicap sama saja seperti banyak lelaki, bajingan. Meski sebetulnya juga sangat kecil kemungkinan sang perempuan pujaan mengunjungi tempat yang sama di waktu yang sama.

Alasan kedua adalah Mamat khawatir bertemu teman sekampung di mall tersebut. Maklum yang dibawa adalah Rani, khawatir menjadi bahan perbincangan yang tidak-tidak di kampung. Mamat memang selalu tertutup kepada teman-temannya jika menyoal perempuan.

“Mau nonton film apa?” tanya Rani di depan mbak penjual tiket bioskop.

“Ya terserah non ih. Asal jangan film horor ya,” Mamat tersenyum, penuh modus jahat dan kotor.

“Oke deh,” jawab Rani.

Rani memesan dua tiket film komedi percintaan yang sedang populer. Lengkap dengan posisi tempat duduk yang Rani pilih sendiri. Rani memilih di barisan D nomor 14-15. Itu atinya barisan ke empat dari atas, di bagian tengah-tengah.

“Hmmm, strategis juga nih milih tempat duduk,” pikir ngeres Mamat, mulai memikirkan rencana-rencana jahat.

“Eh jangan panggil non dong. Biasa aja kali, panggil Rani aja. Malu tau ih, dikirain mah apa,” Rani sebal.

“Emang kenapa? Malu sama orang di mall? Kenal kagak,” Mamat membela diri, semakin menyebalkan.

“Dihhh...” cemberut Rani.

“Hehe iya-iya deh, panggil Rani aja. Rani aja,” Mamat sok humoris.

“Iya lah terserah. Filmnya mulai jam satu lewat, masih lama. Makan dulu yuk?” ajak Rani. Memotong usaha Mamat yang ingin sok humoris tapi garing.

Mamat mengikuti keinginan Rani. Mencari tempat untuk mengisi perut. Saat itu pula dia menjadi cemas, khawatir Rani memilih tempat makan yang bergengsi. Maklum, uang di kantongnya hanya selembar lima puluh ribu. Pilihan pun jatuh kepada restoran siap saji ala-ala jepang.

“Kamu suka kan makanan-makanan Jepang?” tanya Rani, membuka daftar menu.

“Suka sih. Tapi lebih suka cewek-ceweknya. Hahaha...” Mamat penuh lancang.

“Dih dasar...” Rani cemberut manja.

“Eh tapi ngomong-ngomong kamu bawa KTP sama STNK kan ngajak makan di sini? Mamat soalnya cuma bawa KTP sama SIM,” ujar Mamat.

“Hahahaha... lucu... Gak gue cuma bawa surat lamaran kerja. Palingan ntar Mamat yang suruh nyuci piringnya. Haha...” tawa lepas Rani seketika itu pula membuat Mamat pede jika Rani telah masuk perangkapnya.

Obrolan pun berlanjut. Mamat lebih sering melemparkan pertanyaan-pertanyaan absurd dan gak jelas, tujuannya apalagi kalau bukan demi melancarkan niat jahatnya. Mamat berharap dia bisa sehumoris mungkin sehingga bisa disukai. Obrolan berlanjut dengan topik macam-macam.

“Kalo si Esih kabarnya gimana? Dia makin cakep aja ya? Udah kayak artis,” Mamat keceplosan.

“Iya dia mah calonnya aja polisi tau. Ya gimana gak seneng, dia mah kan gak kerja, enak. Emangnya kita, gak kerja ya gak kebeli bedak, haha,” Rani mulai membuat lelucon-leluconnya sendiri.

“Haha, terus kalo si Nengsih dia kabarnya gimana? Dia mah udah punya suami ya?” tanya Mamat, lebih mirip ibu-ibu yang suka gosip.

“Iya, tapi udah cerai lagi. Dia mah udah berapa kali nikah tapi ya gak lama. Jadi dia mah seneng pas dilamarnya aja katanya. Punya duit, pake perhiasan, ya kayak gitu kayak gitu lah,” ungkap Rani, terlihat begitu menggoda di mata Mamat saat memasukan nasi ke mulut menggunakan sumpit.

“Iya? Idih ada ya cewek kayak gitu? Eh kenapa ya kita kok ngomongin orang? Ya udah lah jangan ngomongin orang, ntar kita diomongin juga lagi, hehe” Mamat cengengesan.

“Dih siapa yang duluan kepo, haha,” ujar Rani.

Berselang beberapa saat kemudian, Mamat dan Rani pun sudah puas dengan hidangan ala Jepang. Terteralah sebuah bill tagihan dengan nominal sembilan puluh dua ribu rupiah.

“Ini Ran, tambahin ya uangnya. Mamat cuma bisa patungan buat bayarnya,” ujar Mamat, meletakan selembar uang lima puluh ribu rupiah yang sudah mulai lecek dan lesuh karena di simpan di kantong.

Dih gak usah. Aku aja yang bayar.  Simpan lagi gak uangnya, kalo gak disobekin nih,” ancam Rani.

“Dih iya-iya. Serius nih Ran?” tanya Mamat, sok baik. Sok sungkan tapi tetap saja uang lima puluh ribu yang dia punya dia simpan ke kantong sendiri.

“Iya!” seru Rani, menatap Mamat. Seolah tahu bahwa Mamat memang lelaki yang payah.

Mereka melanjutkan kembali tujuan utama mereka, menonton sebuah film. Kembali nafsu bejat Mamat memenuhi tiap sendi dan tulang-tulang. Niat jahat Mamat ingin bercinta dengan Rani menjadi semakin kuat. Mamat sudah mulai merencanakan hal-hal jahat yang akan dia gencarkan di dalam bioskop nanti.

Berselang beberapa menit kemudian, pintu teater satu pun dibuka. Mamat dan Rani  memasuki teater tersebut bersama beberapa penonton lain. Saat itu memang hari senin, ditambah cuaca yang tidak bersahabat. Sudah tentu bioskop di hari tersebut sepi penonton. Mamat dan Rani duduk di bangku yang tertera dalam tiket. Terlihat hanya ada sekitar 9 orang penonton di dalam teater termasuk Mamat dan Rani.

Di bangku barisan A, atau yang paling atas ada sepasang muda-mudi yang sepertinya sedang mencari tempat yang pas dan nyaman untuk berduaan. Di barisan D di bagian tengah, terisi oleh Mamat dan Rani. Dua barisan di bawahnya terdapat sepasang muda-mudi dan seorang lelaki yang sepertinya jomblo atau mungkin fanatik film? entahlah. Dan di baris yang agak bawah, terlihat dua orang perempuan yang semoga saja hanya berteman.

Lampu teater telah dimatikan, dan layar pun telah dinyalakan. Pendingin ruangan teater terasa begitu dingin di kulit Mamat, maklum dia hanya mengenakan kaos dan celana jins tanpa sweater atau jaket. Hari itu entah mengapa jantung Mamat berdetak cukup kencang. Tentu saja ditambah sedikit gemetar karena harus duduk di tempat nyaman dan sepi bersama seorang perempuan  seperti Rani.

       “Makasih ya Rani, ntar gantian deh Mamatnya yang nraktir,” sesaat Mamat menatap Rani, tersenyum sumringah.

“Hehe iya sama-sama,” balas Rani, menatap Mamat.

Film telah di mulai. Sesekali Mamat memandang Rani. Mulai dari bagian lengan Rani, kulit mulusnya yang putih mulai menggoda pikiran Mamat. Juga wangi parfum yang menurut Mamat itu merupakan wangi parfum yang membawa daya khayalnya pergi ke dalam adegan-adegan di film dewasa. Menit demi menit berlalu, berpuluh-puluh menit dan Mamat masih saja asyik dengan pikiran kotornya. Padahal di kenyataan, Rani terlihat serius menonton film. Denyut nadi Mamat semakin kencang tatkala Rani sesekali menepuk pundaknya karena adegan dalam film yang lucu dan tidak senonoh membuat Rani melepaskan tawa.

“Garapa-gerepe Mat, gerapa-gerepe! dia pasti mau,” tiba-tiba ada bisikan di kiri yang mencoba menghasut Mamat agar mau merelisasikan segala yang ada di pikiran kotornya. “Lu mulai dari memegang tangannya, terus tatap matanya.”

“Jangan Mat jangan! Kalau lu digampar gimana? Lu lihat aja, dia lagi serius nonton kok,” bisikan di kanan menasehati Mamat agar jangan mengikuti nafsunya. “Ingat Mat mikir panjang, mikir panjang.”

“Kapan lagi lu bisa punya kesempatan seberuntung ini? Sama si Rani lagi? Kapan lagi? Ya lu grapa-grepe aja, jangan sampe hamil,” bisikan setan mencoba menembus pagar-pagar logika Mamat. “Kalau dia marah, lu minta maaf aja dengan muka melas. Cewek mah pasti klepek-klepek digituin juga.”

“Nyebut Mat nyebut, inget gak semua cewek semurah di pikiran lu. Lu itu punya agama Mat, di agama lu itu grapa-grepe bukan sama istri itu haram, gak berkah,” nasehat malaikat di kanan yang tak kalah kuat menahan pagar logika.

Mamat semakin pusing karena perdebatan setan dan malaikat yang tak pernah ada habisnya di pikiran. Mulutnya terasa asem dan gak enak, Mamat mengambil sebuah permen yang memang telah dia bawa dari rumah. Mamat sadar, mulutnya selalu asem makanya jika berjalan dengan perempuan dia selalu menyediakan permen biar mulutnya wangi semriwing.

“Good idea, permen. Coba kasih si Rani permen, kalo dia mau berarti dia mau tuh mesum sama lu,” bisikan setan, masih belum patah arang mempengaruhi Mamat.

“Mau permen Ran?” tanya Mamat, menawarkan sebuah permen mint rasa strawberry.

“Gak ah,” Rani menggeleng-gelengkan kepala.

“Hahaha, yes. Dia gak mau permen kan, berarti dia emang gak mau Mat diajak mesum sama lu,” malaikat tertawa senang.

“Halah enggak. Dia emang gak suka aja sama permen. Ini tempat sepi dan nyaman, kecil kemungkinan dia menolak lu. Cewek itu malu-malu kucing Mat, malu-malu tapi mau. Makanya lu harus agresif,” setan terus mencoba mendobrak logika Mamat. “Kapan lagi coba lu, buruan filmnya tinggal setengah jam lagi.”

“Inget mat, nyebut. Lu punya adek cewek, kalo adek cewek lu nanti digituin sama cowok gimana? Atau kalau nanti lu punya anak cewek, anak cewek lu digituin gimana?” bisikan di kanan ada benarnya, meski belum ada penelitian ilmiah kalau buruknya perilaku seseorang akan berdampak pada buruknya perilaku orang terdekatnya juga.

Waktu terus berjalan, sampai film yang mereka tonton berakhir. Meski di alam pikiran tercipta hal-hal kotor, toh di kenyataan Mamat hanya mampu menelan ludah. Soal kejantanan, Mamat terbukti hanya besar di mulut dan khayal tapi di kenyataan nol besar.  Dan cerita gak jelas hari itu berakhir dengan diantarkannya Mamat pulang.

Sesaat setelah sampai di rumah, Mamat membaca pesan status di mesenger Rani yang berbunyi, “Huh tijel dasar....”

“Tuh kan apa gw bilang, dia marah kan karena lu gak jantan. Hahaha, siap-siap aja lu dicap cowok munafik, cowok gak normal, cowok homo,” tiba-tiba bisikan setan terdengar begitu pedas dipikirannya.

“Dih jangan baper Mat. Itu setatus bukan buat lu. Makanya kalo punya pikiran itu jangan kotor. Makanya jangan suka nonton begituan. Punya pikiran itu dimanfaatin, biar dapet duit sama amal. Jangan mikir jorok melulu,” nasihat malaikat menguncang nurani Mamat.

Mamat akhirnya sadar bahwa tidak ada orang yang terlahir sempurna di dunia ini. (Halah apa coba?). Demikianlah cerpen yang lagi-lagi jelek endingnya ini. Tamat.



Catatan: Cerpen ini hanya fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama tokoh, tempat dan waktu kejadian itu hanya kebetulan semata.



2 komentar:

  1. bang, kalau ngomongnya dalam hati gak perlu pakai petik dua. karena kalau petik dua itu kalimat langsung. kalau dalam hati khan bukan kalimat langsung.

    Sip lanjutkan!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mantap.... baru tau saya geh.... haha, maklum jarang baca cerpen dan novel...

      Hapus

Kalau mau komen silahkan komen. Siapa aja boleh komen, apa aja asal tidak menghina SARA. Woles men...